Pertanyaan itu terus terngiang di kupingku. Kenapa anda mau sekolah pasca di Amerika? Tanya Professor Elizabeth Fuller Collins. Kujawab tegas: “Untuk menemui Prof Noam Chomsky dan nonton NBA.”
Lalu, doi menjawab: “Selamat merayakan hari raya kiri dan kecerdasan kekritisan tiada tara.” Lalu, aku tersenyum dan bilang: “Mari kita wariskan peradaban multipolar yang saling hormat bermartabat agar Amerika kembali jadi manusia, bukan drakula.”
Singkatnya, bertemulah aku dengan idola. Formal dan informal. Kukoleksi buku dan video-videonya. Kudatangi forum-forumnya. Kukliping poster-posternya. Lah, ndilalah minggu kemarin dikasih buku terjemahan dari karyanya. Judulnya, “Who Rules the World?” Karya bopo guru Noam Chomsky. Tentu buku ini bergenre politik yang diterbitkan Bentang Pustaka, tahun 2016. Sudah lama juga yah. Lumayan tebal, sebanyak 398 halaman.
Prof Noam Chomsky memang dosen dan penulis banyak buku politik populer, termasuk Hegemony or Survival dan Failed States. Sebagai profesor emeritus linguistik dan filsafat, dia dikenal luas atas upaya revolusioner dalam bidang linguistik modern. Dia lama tinggal di Cambridge, Massachusetts.
Jadi, siapakah yang menguasai Indonesia? Eh, kok Indonesia. Dunia gitu loh. Menurut guru Chomsky, ada kelompok tertentu dalam struktur negara Amerika yang mampu mengendalikan pemimpin negara dan pengambil kebijakan. Siapa itu? Mereka ini adalah para korporasi global; oligarki semesta; sultanik dunia.
Merekalah yang mampu mengendalikan negara dan mengintervensi UU serta membuat aturan yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Sebab, mereka punya uang, media dan jejaring global.
Semua agenda, mulai dari perdagangan bebas (free trad) dan turunannya pada dasarnya adalah kebijakan antar negara yang didorong oleh kepentingan korporasi global. Dari mereka, oleh mereka untuk mereka dan bagi mereka (agar terus) diuntungkan.
Dalam buku ini, guru Chomsky memulai ketikan dengan perkembangan global Amerika Serikat yang memegang kendali sejak perang dunia kedua. Lalu mengendalikan dunia dan mencengkeramnya kuat-kuat sampai lainnya sekarat. Amerika Serikat sangat kuat di NATO dll karena punya hak istimewa untuk menetukan siapa bergabung di dalamnya.
Menurut telisik Chomsky, AS terus melebarkan jaring kekuasaannya hingga ke sisi lain dunia: Timur Tengah dan Afrika. Salah satu yang menjadi catatan dari Chomsky adalah betapa diskriminatifnya perlakuan AS terhadap aksi teror ataupun invasi di Timur Tengah dan Afrika. Pelaku yang merupakan musuh AS akan mendapatkan respons represif, sebaliknya jika pihak sekutu mereka berbuat hal sama justru akan menerima sinyal permisif.
Guruku memang crank (menyempal) dari wajah Amerika yang dominan dan menjajah. Wajah dan watak intelektualnya kritis progresif. Sisi kemanusiaannya sangat menonjol. Dentuman aktifismenya di atas rata-rata. Umur memang makin menua, tapi pena dan tulisannya makin tajam menghujam. Kapankah kita punya Chomsky ala Indonesia? Zaman menunggunya.
Menurut New Statesman, “bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang dunia tempat kita hidup ada satu jawaban sederhana: baca Noam Chomsky.”
Dus, sebagai ilmuwan “kiri,” seperti kalimat Elisabeth di paragraf atas, Chomsky tidak membuat buku ini demi mencari solusi pengubah dunia, melainkan hanya menciptakan intelektual-intelektual progresif yang kritis terhadap situasi sekitar; dunia yang tidak adil; sentra oligarki global dan seruan kewarasan publik.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono