Aku terlelap di atas buku babon saat terdengar suara telpon genggam meraung-raung. Sebuah berita duka dari anak tercinta. “Ayah, sepuluh ekor ikan kita mati sia-sia di kolam tanpa tahu sebabnya,” begitu kabar buruk yang lebih mencekam dari perang Rusia menginvasi Ukrania.
Buku karya Polanyi yang tebal itu seketika terlupa isinya. Saat kuliah dulu tak kupahami, saat lulus terlupakan, saat mau mati baru kubaca lagi karena terserang rayap yang memilukan. Covernya habis. Isinya sudah lapuk. Selapuk umurku kini yang dihiasi putih rambut di mana-mana.
Ide-ide dan temuan Polanyi mendengung kembali di otakku akhir-akhir ini. Maunya, kutulis resensi pendek buat kawan-kawanku yang malas baca buku. Tentu agar mereka terdengungkan nalarnya dan siapa tahu muncul ide-ide baru untuk Indonesia. Kan ilmu ekonomi di kita tinggal utang dan gadai, di mana ekonomnya cuma jadi pelacur dan rentenir.
Ya. The Great Transformation merupakan sebuah buku ekonomi klasik karya Karl Polanyi. Buku yang dirilis tahun 1944 oleh penerbit Farrar & Rinehart ini menjabarkan aneka faktor sosial yang menjelaskan tinggi-rendahnya tingkat kesejahteraan suatu negara dan rakyatnya. Tentu, buku ini juga menggambarkan sejarah periode awal transformasi ekonomi di Inggris.
Polanyi mulai menulis bukunya di Inggris pada akhir 1930-an dan menyelesaikan bukunya di Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Dia mulai menjelaskan keruntuhan ekonomi dan sosial abad ke-19, serta transformasi yang telah disaksikannya selama abad ke-20.
Menurut pengamatannya, ada empat institusi yang menjadi pilar peradaban waktu itu: keseimbangan kekuatan internasional (the international balance of power), standar harga emas (the gold standard), mekanisme pasar bebas (self-regulating markets), dan negara yang bersikap liberal (the liberal state). Keempatnya kadang saling bertabrakan dan kadang saling menguatkan.
Dulunya, orang tidak melakukan tindakan ekonomi dalam rangka melindungi kepentingan individualnya untuk memiliki barang-barang material, melainkan bertindak untuk melindungi status sosialnya, tuntutan sosialnya, serta aset sosialnya. Tetapi, era ini habis. Makin ke sini makin individualis.
Yah. Sejarah konsep ‘self-regulating market’ merubah pola ekonomi purba dan merubah bagian fundamental masyarakat berupa land, labor dan money. Pasar tidak lagi menjadi arena yang terbuka dan fleksibel bagi setiap aktor. Sejak konsep pasar ini menguat, tiga bagian penting dalam kehidupan masyarakat ini (land, labor, money) menjadi komoditas pasar.
Melalui buku ini kita bisa melihat kritik terhadap kapitalisme modern yang menurut Polanyi adalah anomali sejarah. Menurut Polanyi, ekonomi modern sudah mengubah relasi sosial dan menciptakan asimetrik informasi yang ujungnya membuat perang harga dan perang dunia.
Polanyi datang dan 10 ekor ikan mati sia-sia. Aku terguguk di atas KRL yang melaju stabil ke kantor. Ikan, Polanyi, KRL dan Krisis membentuk bujur sangkar yang lamat-lamat di otakku. Tulisan ini khusus kubuat untuk diriku yang barusan dilamar jadi team sukses salah satu kandidat capres yang bertanya: “Bersediakah Anda menjadi kepala Bapenas jika kami menang pilpres 2024”? Kujawab: “Sebaiknya Anda mendukung saya jadi presiden sekarang juga dan tak perlu pemilu saat krisis begini.”
Polanyi mungkin tak baca ekonomi konstitusi kita. Tapi kuyakin, dia memahaminya.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono