IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Menulis Ulang Arsitektur Ekonomi-Politik Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi defisit APBN tahun berjalan tak bisa dihindari. Rakyat disuruh hati-hati, tidak boros dan hemat energi.

Dus, dalam tiga tahun terakhir, defisit APBN kita hampir menjadi kurikulum. Kondisi keuangan ini cukup rawan karena juga terjadi defisit perdagangan dengan nilai impor yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ekspor.

Tentu ini masalah besar karena pendapatan pajak berada di bawah target, sementara yield obligasi naik. Pasar keuangan global sudah faham jika negara kita hidup dari utang. Karena itu, kita akan makin sulit menjual surat utang, kecuali dengan biaya bunga tinggi. Jadi, utang dipastikan akan bertambah.

Pangkal Krisis

Kondisi keuangan semakin mencemaskan karena utang luar negeri sudah menumpuk, sementara utang baru akan dibuat lagi.

Itu artinya, situasi fiskal mengetat dan “sesak.” APBN yang defisit, utang yang menumpuk, pendapatan yang stagnan, pemasukan yang seret karena iklim korupsi serta belum menemukan trobosan adalah situasi sekarang dan ke depan.

Dari sini muncul pertanyaan genting, “Kapan krisis ekopol dimulai?” Jawaban singkatnya saat kita sudah kehilangan jiwa kesetiakawanan sosial. Apa tengarainya? Saat terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mengarah pada turunnya nilai tukar mata uang karena utang menumpuk, KKN, munculnya program pengurangan pajak korporasi dan konglomerasi sehingga defisit APBN dan harga kebutuhan pokok makin tak terkendali.

“Kalian tahu pangkal krisis? Tanyaku suatu kali pada mahasiswaku”. Adalah, “iman pada pasar yang berlebihan.” Padahal, iman pada pasar yang berlebih (neoliberalisme) itu penyakit kangker. Ia makin lama makin resisten terhadap vaksin sehingga ketika bertamu, kita butuh dosis yang makin tinggi untuk mengusirnya. Tapi saat bertamu kembali, dampak kerusakan ekonomi negaramu makin dahsyat.

Neoliberalism is unstable because it is a financial and accumulating system with yesterday, today n tomorrows (last, now n next) with greedy. They make instability like a normal result. ‘Neoliberalisme tidak stabil karena merupakan sistem keuangan dan akumulasi dengan kemarin, hari ini dan hari esok (terakhir, sekarang dan berikutnya) dengan serakah. Mereka membuat ketidakstabilan seperti hasil normal”. Inilah anabolic steroid dan doping-doping yang sangat berbahaya!

Tentu saja, krisis adalah istilah lama dalam teori siklus bisnis. Ia merujuk pada perubahan tajam menuju resesi ekonomi dan sering merubah arsitektur politik. Dus, ia bukan peristiwa biasa. Ia justru sering menjadi alat bagi siapa saja untuk menjatuhkan atau mempertahankan suatu rezim dalam negara.

Krisis akan makin akut saat kita tak memiliki alat kebijakan untuk mengatasinya. Terlebih, saat ruang untuk stimulus fiskal sangat terbatas di tengah utang publik yang jumbo. Dus, kemungkinan untuk menggelar kebijakan moneter luar biasa akan dibatasi oleh neraca yang sudah membengkak, serta ruang terbatas untuk memangkas suku bunga.

Tetapi, dari semua argumen itu, ternyata krisis memang “anak haram demokrasi liberal“. Ia lahir, tumbuh dan berkembangbiak dari rahim itu dan, lalu menghidupinya. Resiprokal. Makanya, saya tak percaya demokrasi liberal ada manfaatnya buat republik dan warga miskin seperti kita. Saya juga tak beriman pada demokrasi liberal yang sedang berjalan di Indonesia.

Cara Mengatasi

Bagaimana menghadapinya? Dengan merdeka 100%. Proklamasi kembali. Dengan berdikari. Jalannya via nasionalisasi, transformasi shadow economic, ngemplang utang, proteksi industri, nuklirisasi, pajak super progresif dan praktik hidup zuhud, crank, menyempal.

Crank dan menyempal karena merealisasikan transformasi shadow economic. Inilah program riil dan masuk akal yang akan memastikan agar seluruh bisnis haram menjadi halal sehingga menyehatkan APBN kita. Shadow economic adalah kegiatan produksi dan perdagangan barang maupun jasa yg ilegal dan nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB).

Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif sebagai berikut. Pertama. Menghindari kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan (pph), pajak pertambahan nilai (ppn). Kedua. menghindari kewajiban non-pajak seperti yang diatur dalam regulasi pemerintah;

Ketiga. Menghindari pemenuhan standar ketenagakerjaan yang legal, meliputi upah kelayakan minimum, jam kerja yang telah ditetapkan, standar keselamatan, dan lain sebagainya. Keempat. Menghindari kewajiban administratif dan prosedural, seperti perijinan dan sejenisnya. Praktik-praktik shadow economic antara lain: 1. Memproduksi dan memperjual-belikan produk palsu atau bajakan; 2. Semua bisnis ilegal (tidak berijin); 3. Prostitusi; 4. Narkoba; 5. Perjudian.

Skala bisnis itu berada di kisaran 30-40% dari PDB. Berikut rangkuman ketikan Erizeli dan Jely Bandaro (2017) berjudul “Intrik Bisnis Lendir.” Menurutnya, “semua tahu bahwa bisnis hiburan itu berhubungan dengan lingkaran kekuasaan baik kekuatan informal maupun formal. Di Era Soeharto, upeti mengalir kepada petinggi TNI sebagai bentuk biaya perlindungan. Di Era SBY, biaya perlindungan diberikan bukan hanya kepada TNI tapi juga Ormas. Hal ini karena uang yang beredar sedikitnya Rp. 60 triliun setahun”.

Dengan mentransformasikannya via UU dan regulasi yang pas, bisnis ini akan menjadi penyumbang besar bagi kemakmuran, keadilan dan pemerataan. Potensi semuanya bahkan 1000 triliun per tahun. Hampir separuh jumlah APBN kita.

Singkatnya, jika belajar dari Amerika, kita perlu mengkaji sepak terjang Ted Roosevelt ketika menumpas patgulipat Carnegie-Jp Morgan-Rockefeller dan menikam krisis yang diciptakan para oligarki di elite negara.

Jika belajar dari India, kita perlu mengkaji Gandi dalam menggalang persatuan dan mengusir begundal-begundal Inggris saat merampok warganya.

Jika belajar dari para pendiri republik, kita wajib menghidupkan pikiran dan gagasan besar Tan Malaka. Sebab baginya, “Kemerdekaan Indonesia harus dicapai lewat revolusi, bukan diplomasi”. Revolusi yang bagaimana? Tan Malaka menjawab, dengan kerja sama antara kaum proletar dan bukan proletar. Dua agensi tersebut tetap merupakan syarat mutlak yang harus dipertahankan.

Bila kerja sama antar agensi ini sampai terputus, ia memperkirakan kondisi terciptanya perbudakan nasional, yaitu penjajahan bangsa sendiri oleh satu agensi yang berkuasa.

Maka, revolusi Indonesia bagi Tan Malaka, haruslah bermata dua: keluar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme. Kedalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan tribalisme.

Tanpa konsepsi tersebuat, terciptalah Indonesia hari ini: krisis yang berulang dan mencipta republik swasta, pamong jongos, peternak babu dan elite maling.

Dari sini, kita perlu rumus identifikasi pejabat pemerintah itu agen penjajah atau bukan. Alat identifikasi itu untuk mencandra tindakan eko-politiknya mengarah pada penciptaan krisis, inefesiensi, perampokan dan hasut pecah belah masyarakat atau sebaliknya.

Dari rumus itu, kita dapat menarik nama-nama daftar agen penjajah atau pahlawan pembela bangsa di sekitar kita.

Jika rumusan itu disepakati maka kita akan mudah menulis ulang Arsitektur Ekonomi-Politik Indonesia. Tentu agar ada alternatif dalam menyusun aturan main berekonomi-politik ala Indonesia. Tidak sekedar kopi paste yang sering tidak mendekati janji proklamasi dan konstitusi. Sebaliknya makin menjauh dan membuat ketimpangan bin kejahiliyahan via krisis yang diciptakan berulang-ulang setiap bulan.(*)

 

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply