Akhir – akhir ini kita mendapatkan berita tentang bangkrutnya Sri Lanka, sebuah negara pulau di sebelah utara Samudera Hindia di pesisir tenggara India, karena salah urus ekonomi oleh pemerintah dan diikuti dengan kaburnya pemimpin mereka Gotabaya Rajapaksa ke luar negeri, negara ini menjadi perbincangan ramai di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Masyarakat Indonesia memperbincangkan antara lain mengenai salah urus ekonomi yang dilakukan pemerintah Sri Lanka dan mencoba membandingkannya dengan situasi di tanah air.
Terlepas dari berbagai isu yang diperbincangkan mengenai negara yang hingga 1972 disebut Ceylon tersebut, ternyata Sri Lanka memiliki jejak historis yang panjang dengan Indonesia setidaknya sejak jaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur, yang kemudian dikenal sebagai kompeni Belanda.
Petrik Matasani dalam artikelnya di Historia.id tanggal 11 Juli 2022 “Sri Lanka Tempat Pembuangan VOC” menyebutkan bahwa VOC menjadikan Sri Lanka sebagai tempat pembuangan orang-orang yang dianggap berbahaya di Nusantara.
Ditambahkan oleh Peter bahwa Bangsawan Jawa lain yang dibuang ke Sri Lanka adalah Pangeran Ario Mangkunegoro. Pembuangan ini membuat hati anaknya, Raden mas Said, mengeras. Dia melawan Belanda dan Keraton Mataram Pakubuwono sampai akhirnya diakui sebagai penguasa di sekitar Surakarta sebagai Mangkunegaran I.
Dari Sulawesi ada ulama asal Gowa, Syekh Yusuf Al Makassari, yang dibuang ke Sri Lanka pada 1684 karena membantu Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC. Syekh Yusuf kemudian dipindahkan ke Cape Town, Afrika Selatan, pada 22 Desember 1694 dan wafat pada tanggal 23 Mei 1699.
Masih merujuk pada tuliusan Ricklefs, Peter menyebut bahwa dari Maluku terdapat Sultan Hairul Alam Kamalludin Kicili Asgar yang pernah dibuang ke Sri Lanka oleh VOC sebelum kemudian dikembalikan ke Tidore sebagai sultan boneka.
Setelah VOC bubar pada 1800 dan diganti pemerintah Kolonial Belanda, musuh mereka atau orang-orang yang dianggap berbahaya oleh Kolonial Belanda biasanya hanya dibuang ke pulau berbeda. Misalnya Imam Bonjol dan Pangeran Dipenogoro dibuang ke Sulawesi Utara, Tjut Nyak Dien ke Sumedang, atau Sukarno yang dibuang ke Ende tahun 1934-1938.
Adhie /sila.com