IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

The Right of Man Buku Tentang Perintah Revolusi

Pandemi Kebodohan. Demikian guru Zulkifli (2022: 1) menamai situasi mutakhir kita. Tiba-tiba kita semua “bodoh, dibodohi, dianggap bodoh dan terlihat bodoh.” Atau dalam bahasa gaul, kita minus gagasan tapi surplus hoax. Tak punya pikiran dan terobosan tapi panen ngedumel dan ndremimil.

Elite kita makin menyedihkan dan sakit. Gegara busuk agensi dan rusak konstitusi, semua orang menanggung paria. Bertahun-tahun dan tetap tak ketemu obatnya. Dengan diagnosa itu, aku ingat Thomas Paine. Penulis besar di masa silam yang fatwanya perlu diikhtiarkan.

Ya. Thomas menulis buku “perintah revolusi.” Buku yang mengemukakan pandangan keharusan melakukan revolusi ketika elite pemimpin tak lagi mampu melindungi hak-hak rakyat; tak lagi peduli penderitaan warga; mengumbar korupsi; bersekutu dengan syaitan dan membangun tirani.

Ditulis sebagai pembelaan atas Revolusi Prancis, di tahun 1791 buku The Right of Man diedarkan secara luas, dan digunakan sebagai senjata menentang semua lembaga kemasyarakatan yang tidak menguntungkan bangsa secara keseluruhan, termasuk lembaga monarki dan aristokrasi plus demokrasi liberal.

Buku ini terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi Daulat Manusia. Dikatapengantari oleh W.S. Rendra dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Cetakan di Jogja pada tahun 2000. Buku setebal 244 halaman plus dan berukuran 14 x 21cm ini sempat larang edar karena menjadi bensin pemberontakan.

Membaca buku ini mengingatkanku pafa pertanyaan kolega di lembaga Nusantara Centre yang berkata, “kawan-kawanku yang baik. Tolong bantu jawab kegelisahan kita bersama dengan menjawab dua pertanyaan ini: 1)Mengapa kita sangat pintar memproduksi pemimpin bermental tempe? 2)Mengapa kita membiarkan para pemimpin menjadi pengkhianat warga negara?

Jawaban dari soal pertama adalah karena sekolah kita yang tak terjilid dengan Pancasila dan Konstitusi. Jawaban dari soal kedua adalah karena hukum kita tak menjawab tantangan masa depan. Dua hal yang tali temali. Menjawab keduanya adalah kewajiban bersama.

Sebab, perubahan cepat atau lambat pasti terjadi. Kita siapkan pasukan, agensi dan komunitas epistemik yang sadar nusantara agar mulia. Ilmu dan pengalaman serta modal harus dicari bersama. Tetapi, tetap harus diingat bahwa model, modal, modul akan ditemukan seiring waktu dan kesungguhan.

Terlebih, kini sedang terjadi globalisasi negatif. Sebuah epistema bobrok yang sedang kita hadapi. Secara umum, ini adalah hubungan antar negara yang makin memperburuk nasib warganya. Tak banyak metoda yang kita punya. Tak banyak strategi yang kita miliki. Yang tersisa kini hanya postkolonial theory dan teori kedaulatan (see kitab kedaulatan).

Tetapi, ia bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran baru yang jenius dan menyemesta. Bahwa masih banyak kesadaran besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme baru, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik intelektual, material maupun spiritual. Baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Karenanya, tujuan pengembangan dan diskusi teori postkolonial plus kedaulatan adalah melawan sisa-sisa dan dampak dari terjadinya kolonialisme purba dalam pengetahuan, struktur maupun kultur. Tentu yang paling utama juga menikam mati mental kolonialisme baru sebagai causa prima keterjajahan kembali Indonesia.

Dus, studi postkolonial dan studi kedaulatan manusia yang kita kembangkan berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang equal bermartabat di masa depan. Juga masa depan kewarganegaraan yang mandiri, modern, martabatif, adil, sejahtera, sentosa dan makmur: di semua tempat dan waktu. Siapa tertarik buku ini, boleh beli ke aku dan mendiskusikan isinya.(*)

 

Penulis Resensi: Dr. M. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply