IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Perbedaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan Pura Mangkunegaran

Satu diantara kota-kota di Indonenesia yang masih memiliki peninggalan keraton, yaitu tempat kediaman ratu atau raja atau istana raja, yaitu Solo, atau Kota Surakarta.

Pada masa lalu 2 keraton itu menjadi pusat pemerintahan. Seiring dengan terbentuknya Pemerintahan Kota Surakarta maka peran tersebut tidak dimiliki lagi.Namun, keraton tetap menjadi pusat budaya.

Solo memiliki dua ikon cagar budaya yang masih ada hingga sekarang. Keduanya yaitu Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran.

Pura Mangkunegaran dalam setiap pengangkatan raja harus mendapat persetujuan dari Kanjeng Sinuhun Paku Buwono dan Residen Belanda dahulu.

Karena status itu, Pura Mangkunegaran juga tidak diperkenankan mempunyai alun-alun seperti yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1745, yaitu lebih awal dari Pura Mangkunegaran, ketika ada pemindahan pusat pemerintahan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala.

Mulanya, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 menyebabkan terjadi pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yakni Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.

Bersamaan dengan itu keberadaan kerajaan Mataram berakhir.

Adapun Pura Mangkunegaran pada 1757-1946 merupakan kerajaan otonom yang berhak mengatur wilayahnya sendiri.

Sebagaimana kerajaan lain, Pura Mangkunegaran memiliki prajurit secara independen, terlepas dari Kasunanan. Cakupan wilayahnya pun juga berbeda.

Tertulis dalam Perjanjian Salatiga yang dikeluarkan pada 17 Maret 1757, Mangkunegara I memiliki daerah kekuasan yang meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu.

Kemudian, pada September 1946, Mangkunegara VIII yang memerintah pada masa itu, menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun ketika terjadi revolusi sosial di Solo pada 1945-1946, Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya. Walaupun demikian, Pura Mangkunegaran tetap memegang komitmen untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.

 Pada 16 Juni 1956, Pemerintah Kota Surakarta mendapat pengakuan de facto memiliki kewenangan mengatur daerahnya sendiri.

Sejak itu pula Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran tidak memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Kini, keberadaan keduanya dirawat menjadi cagar budaya yang bisa dikunjungi wisatawan ketika menjelajah Kota Solo.

adhie/silanews.com

Bagikan ya

Leave a Reply