Tak ada yang lebih bertanggungjawab dari kependidikan dan kepengajaran di suatu negara kecuali para budayawan. Jika para politisi lupa, jika para pengusaha acuh, jika para buruh mengeluh, kita masih bisa memakluminya. Tetapi, jika para budayawan tak lagi gelisah dengan “situasi dan kondisi kepengajaran dan kependidikan kita,” selesai sudah kita dalam bernegara.
Buku ini kami bahas dengan riang walau isinya sangat berat dan menantang. Bersama penulis buku Ki Darmaningtyas dan para pecinta pendidikan: Pontjo Sutowo, Wisnusubroto, Bagiono, Nurachman, Bambang Pharma, Ningrum, Ben, Rusdi, Herawati, Dhitta, Nanang, Maulite, Henny dan beberapa kawan yang intens serta peduli. Yayasan Suluh mengajak beberapa kolega dan jaringan yang punya cita-cita beririsan untuk menarasikan maha pentingnya pendidikan. Jargonnya: “jangan main-main dengan pendidikan” adalah bukti bahwa kami sangat peduli.
Yayasan ini memang sangat konsen dalam usaha memutukan pendidikan. Naskah akademik kebudayaan dan kependidikan sudah kami sampaikan ke publik. Buku-buku pencerahan dan kebangsaan kami produksi. Kegiatanan program pencerdasan terus dikerjakan dengan potkes dan media. Semua demi tegaknya peradaban yang martabatif dan anti koruptif.
Apa yang bisa disimpulkan? Prihatin. Ya, kondisi pendidikan kita memang sedang serusak-rusaknya. Bahkan guru Darmaningtyas sampai yakin dengan tesisnya, “inilah zaman pendidikan paling rusak karena kita punya mendikbud paling buruk (kinerjanya) sepanjang republik berdiri.” Mengapa sangat buruk? Karena ia tak mengerti kebudayaan dan kependidikan yang berpusat dari mental kejujuran.
Kini kita sedang di puncak-puncak kerusakannya akibat hilangnya kejujuran. Terlebih, di lapangan terjadi kecelakaan besar dalam sejarah terbentuknya negara ini yaitu kegagalan sekolah kita mencetak “pendidik dan pengajar anti kolonial dan anti ekonometrik.” Itu diperparah oleh kegagalan kita dalam menciptakan kurikulum keIndonesiaan agar menghasilkan sarjana yang memahami kebutuhan peradaban Indonesia.
Alih-alih mampu memproduksi kurikulum dan guru-guru Pancasila yang mengerti keadaan dan kebutuhan ipoleksosbudhankam Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya: panen pemimpin palsu dan memproduksi kebijakan palsu. Mereka hidup dari budaya, mental dan karakter layu, inlander dan volatil.
Padahal, kunci pendidikan itu dari budaya, mental, birokrasi serta aksesnya. Jangkauan pada pendidikan yang baik dapat menjadi jembatan peningkatan kwalitas rakyat dan meningkatkan taraf hidup para calon penerus bangsa, terutama di negara berkembang yang memiliki jejaring pengaman sosial (social safety net) terbatas, bahkan sangat buruk. Namun, untuk mendapatkan pendidikan bermutu, baik dari perspektif masyarakat maupun pemerintah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Pendidikan Indonesia makin ke mari makin hilang bentuknya. Terutama dari sisi kebutuhan nasional, kedaulatan negara dan dari kemartabatan peradaban bangsa. Semua belum mengarah pada cita-cita konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, pascareformasi pendidikan sangat rusak-rusakan akibat komersialisasi, liberalisasi dan politisasi pendidikan di daerah.
Saat bersamaan, kondisi ekopol kita memang kritis dan krisis. Terjangan covid dan KKN makin membuat kita “lupa pendidikan.” Akibat riilnya, dalam bidang pendidikan Matematika dan Sains terlihat terus menurun drastis dan kita belum punya roadmap untuk juara. Riset oleh International Association for Evaluation Achievement (IAEA 2021) pada anak SD dalam Reading Literacy Study, Indonesia ternyata berada pada urutan kedua terendah dari 23 negara sampel dalam hal kemampuan memahami bacaan (reading comprehension) adalah bukti lainnya.
Singkatnya, hasil pendidikan kita yang mikro adalah melahirkan manusia bervisi pendek yang memproduk segitiga kurikulum: konsolidasi keserakahan; masifikasi kekuasaan; intensifikasi kekayaan. Ketiganya memperkuat kepentingan diri-kelompoknya sambil mengubur kepentingan bangsa-nasionalnya. Kesenjangan dan ketimpangan akut jadi buktinya.
Hilirnya, sistem pendidikan kita kini telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan transformasi sosial, akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktisi pendidikan di lapangan serta acuhnya kita semua pada martabat peradaban.
Judul lengkap buku ini adalah “Pendidikan Rusak-Rusakan (Edisi Revisi).” Ditulis oleh Ki Darmaningtyas, diterbitkan oleh Buku Bijak, tahun 2022. Buku cukup simple karena berukuran: 13,5 x 20 cm, setebal: xiv + 534 halaman dan berISBN: 978-623-96959-8-9.
Tentu saja, buku ini mengajak kita untuk evalusi, refleksi dan proyeksi serius atas dunia pendidikan Indonesia demi menentukan martabat masa depan, arah di mana sejarah bangsa ini akan ditentukan. Bagi yang berminat, bisa pesan ke saya dan kita diskusikan isinya serta buat programnya dengan dahsyat.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono