Kekerasan dalam bahasa adalah tanda kekerasan dalam pikiran. Dan, kekerasan dalam pikiran adalah tanda kemacetan dalam capaian cita-cita. Kemacetan cita-cita adalah suasana kita semua kini.
Apa dosa terbesar pemerintahan Indonesia terhadap warganya sejak Orde Baru? Adalah beragama “pertumbuhan.” Iman pada pembangunan berdimensi pertumbuhan inilah “dosa asal dan dosa induk” yang tak banyak dipahami presiden-presiden kita.
Ilusi pertumbuhan itu memabukkan. Ia jadi mantra sakti para agen kolonial saat merampok suatu negara. Ia jadi azimat kurap para begundal saat menipu suatu bangsa. Mereka berfatwa, “hanya dengan pertumbuhan” suatu bangsa bisa sejahtera!
Serbuan Investor Asing-Aseng Tak Peduli Dengan Nilai-Nilai Lokal
Pertumbuhan ekonomi pada awalnya diartikan sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Dus, pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Tetapi, dalam perkembangannya, teori pertumbuhan ini menikah dengan matematika sehingga melahirkan anak haram ekonometrika. Satu kurikulum baru di mana semua hal ikhwal pembangunan diukur dengan sendi angka-angka minus kemanusiaan.
Karenanya, roadmap pertumbuhan adalah penanaman modal asing dan penciptaan hutang luar negeri. Akibatnya terjadi serbuan investor asing-aseng yang tak peduli dengan nilai-nilai lokal.
Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor ini mengakibatkan undang-undang Indonesia (yang mengatur arus modal) menjadi paling liberal di dunia internasional. Saat yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian dan deindustrialisasi nasional plus penggadaian murah aset strategis (BUMN).
Hilirnya adalah pemerintahan sentralistik yang buas, lahirnya kota-kota baru yang amoral: urban, kemacetan, kebusukan, banjir dan keruwetan tiada tara. Yang dikejar adalah akumulasi angka, deret ukur, grafik-grafik yang ilusif dan cenderung manipulatif. Orientasinya kapital. Yang dipuja harta benda. Yang dipeluk gengsi dan citra.
Akibatnya, pemerintah absen di mana saja. Pemerintah lupa membangun tata kelola yang bersih, efektif, demokratis dan amanah yang memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Pemerintah lupa membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Lupa memeratakan pembangunan. Mereka lebih sibuk melayani seponsore dan pendukung sambil mengkhianati konstitusi.
Prestasi Pertumbuhan Mewariskan Ketimpangan
Dengan pertumbuhan itu, memang ada prestasi besar tiap rezim di Indonesia. Dan, prestasi terbesarnya adalah mewariskan ketimpangan. Inilah penyebab stabil dan bertahannya kemiskinan, kebodohan, kesakitan, konflik, kemandulan inovasi dan ketergantungan plus ketidakmandirian/ketidakdaulatan yang kita nikmati bersama (8K).
Ketimpangan itu bisa diukur dalam banyak metoda. Salah satunya rasio gini dan prosentase pendapatan. Riset kami menunjukkan bahwa 0.8% rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 60% dari total kekayaan negeri ini. Itu artinya kekayaan 9000T yang ada maka hampir 5000T ada di tangan 2 juta orang saja.
Dan 10% konglomerat menguasai 80% total kekayaan republik. Itu artinya 100 konglomerat menguasai hampir 7000T di semua lini bisnis mereka. Para konglomerat itu mengakumulasi uangnya via bisnis legal (25%) dan illegal (75%). Legal artinya bisnis yang berhubungan dengan APBN dan bayar pajak. Illegal artinya bisnis haram (narkoba, pelacuran, judi, penyelundupan dll) dan tak bayar pajak. Kini, nilai konsumsi 10% konglomerat sama dengan 55% warga miskin. Dan, konglomerat asli Indonesia hanya 0.7%. Sisanya asing dan aseng.
Dari data ini, kita mau apa? Sibuk lempar kursi, berziarah, mimpi dana revolusi dan mengkader kriminal kolaborator muda sambil membiarkan kolaborator tua mencopet di gedung-gedung dewan?
Yang jelas, ide pemerataan raib; ide pertumbuhan mengemuka, walau ilusif. Pemerataan musnah ditelan keluguan dan blusukan. Karenanya, kita kini masih menunggu solusi cerdas dari kalian sambil mari bergandengan tangan melawan dan mengubur pokok penyebab gagalnya kita menjadi pahlawan warganegara.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono