Berdasarkan catatan sejarah, Bamsoet menjelaskan, peta jalan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak era Presiden Soekarno bernama Pembangunan Semesta Berencana. Istilah ini pertama kali dipergunakan pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Meski Ketetapan MPRS ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena ada peristiwa Trikora, kemudian Dwikora, dan akhirnya pemberontakan G30S/PKI, Tap MPRS ini dapat disebut tonggak kesadaran bangsa Indonesia untuk menyusun perencanaan pembangunan dengan benar.
Hal itu lalu dilanjutkan oleh Presiden Soeharto dengan nama Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pasca reformasi Indonesia tidak lagi memiliki perencanaan jangka panjang yang terpadu maupun mengikat kepemimpinan nasional hingga daerah.
“Termasuk juga proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan berbagai proyek pembangunan infrastruktur lainnya yang kini gencar dilakukan Presiden Joko Widodo, dilanjutkan oleh penggantinya jika hanya diikat dalam undang-undang yang dapat di judicial review dan mudah ‘ditorpedo’ atau dibatalkan oleh Perpu,” ujar Bamsoet dalam keterangan, Rabu (3/8/2022).
Ia menjelaskan MPR RI dan seluruh rakyat Indonesia sebenarnya telah sepakat Indonesia pasca reformasi memerlukan peta jalan yang jelas.
“Kesadaran kolektif bangsa kita baru terbentuk pasca reformasi. Ternyata, tanpa haluan negara seperti jaman Presiden Soekarno dengan Pola Pembangunan Semesta Berencana (PPSB) dan era Presiden Suharto dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), perjalanan bangsa kita jalan di tempat. Itu terjadi, karena rencana pembangunan nasional kita hanya berpijak pada visi-misi Presiden dan pada program-program jangka pendek,” kata Bamsoet.
“Sehingga, setiap pergantian pemimpin baik itu di nasional, maupun daerah terjadi banyak kemunduran, karena setiap pemimpin pengganti tidak memiliki kewajiban untuk menuntaskan atau meneruskan program-program pembangunan yang sedang berjalan,” sambungnya.
Hal itu menyebabkan banyak pembangunan menjadi tidak berjalan dengan semestinya sehingga manfaatnya kurang dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu hal tersebut perlu menjadi evaluasi bersama.
“Itulah yang membuat kami di MPR mengeluarkan rekomendasi agar kita memiliki peta jalan pembangunan nasional untuk segera menetapkan rencana jangka panjang yang jelas,” jelasnya.
Menurutnya, untuk menyatukan kesepakatan dan kesepahaman tersebut masih tergolong sulit. Padahal saat ini, MPR begitu semangat untuk merealisasikan PPHN.
“Akhirnya, MPR sepakat mengambil langkah untuk menghadirkan PPHN tanpa melalui amandemen. Sebenarnya, yang ideal memang menghadirkan kembali PPHN dengan kekuatan di atas Undang-Undang yakni dengan TAP MPR. Tapi, konsekuensinya harus melalui amandemen dan hal itu dalam situasi politik hari ini tidak memungkinkan kita lanjutkan, sehingga MPR mencari terobosan baru dan badan pengkajian MPR telah memberikan suatu titik terang atau jalan untuk kita memiliki terobosan itu, yaitu melalui Konvensi Konstitusi,” ujarnya.
Baca juga:
Waket MPR Sebut Semangat Nasionalisme Kunci Hadapi Tantangan Global
Ia menambahkan, PPHN harus menjadi panduan dengan dasar hukum yang kuat sehingga tidak mudah diserang dengan Perpu atau Judicial Review. Sehingga siapapun presidennya, pembangunan jangka panjang bisa terus dijalankan hingga tuntas.
“Melihat pentingnya PPHN untuk bangsa dan negara, saya mengajak seluruh Pimpinan dan anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, juga seluruh elemen masyarakat termasuk para akademisi dan cendekiawan, mari semua bergandeng tangan bersama kita cari jalan terbaik,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Sofian Effendi mengatakan PPHN adalah pelaksanaan dari Pancasila, salah satunya sila kelima karena tujuan negara adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sofian menjelaskan untuk mewujudkan hal tersebut perlu dukungan besar dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Baca juga:
PPHN untuk Pembangunan Berkelanjutan 83.381 Desa
“Kenapa melalui TAP MPR, sebab yang memegang kekuasaan konstitutif negara ini adalah MPR. Jadi, intinya jika PPHN ini adalah pelaksanaan dari kedaulatan rakyat, maka harus dihadirkan lewat TAP MPR,” tutup Sofian.
Sebagai informasi tambahan, ajakan untuk membuat peta jalan dikemukakan oleh Bamsoet dalam gelar acara Grand Launching dan Bedah Buku ‘Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila Untuk Membangun Indonesia’ karya Aliansi Kebangsaan di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Acara tersebut turut dihadiri oleh para Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad, Hidayat Nur Wahid, mewakili Presiden RI Ketua BPIP Yudian Wahyudi, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, dan sejumlah tokoh lainnya.
adhie/detik.com