Prakata
Sejarah Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M), Alam Semesta Bukan Ciptaan Tuhan adalah sebuah buku yang ditulis oleh Sigit Wibowo dan Eko Teguh Widodo. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Jawa Kanung, Jakarta, 2016. Buku ini terdiri dari 17 BAB. Diawali dengan BAB 1: Awal-Mula Alam Semesta, BAB 2: Asal Usul-Usul Orang Jawa, BAB 3: Kondisi Geografi Jawa, BAB IV: Kedatangan Leluhur Jawa, BAB 5: Kelahiran El Masih (Yesus Kristus), BAB 6: Penyatuan Jawa Purwa Dan Jawa Pegon, BAB 7: Kerajaan Pucangsula, BAB 8: Perang Keling Dan Baturetna, BAB 9: Gunung-Gunung Jawa Purwa Meletus, BAB 10: Kedaton Kudus, BAB 11: Keraton Medhang Matriam, BAB 12: Kerajaan Medhang di Jawa Pegon, BAB 13: Kerajaan Panjalu dan Jenggala, BAB 14: Kedaton Kanjuruhan, BAB 15: Kerajaan Singasari, BAB 16: Kedaton Lasem, dan terakhir BAB 17: Babad Kanung.
Secara keseluruhan buku ini mendasarkan pada Babad Kanung. Babad Kanung adalah babad yang merupakan tulisan berisi perjalanan sejarah wong Jawa (orang Jawa) yang disimpan oleh Dinasti Badra sejak masa Sabadra pada abad ke-3 Masehi hingga Kieban Sakyabadra abad 20 Masehi, (Sigit Wibowo dkk, 2016: 216). Menurut Sigit Wibowo pula, Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad. Babad Kanung juga berhasil diselamatkan dari penghancuran setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun Jawa 1708 (?) atau 1478 M dan Kerajaan Pajajaran pada tahun Jawa 1809 (?) atau 1579 M, (Sigit Wibowo dkk, 2016: 216).
Babad Kanung dicatat dalam rontal dan kropak bambu. Hingga awal 1990 rontal dan kropak bambu ini masih ada. Namun mengingat rontal dan kropak bambu tersebut kebanyakan brubukan atau rusak karena berusia ratusan tahun, peninggalan leluhur ini dibuang karena dianggap tidak lagi berguna. Sebagian kropak lalu digunakan untuk kayu bakar. Pada saat ini rontal dan kropak tersebut sudah tidak ada lagi, namun isinya sudah disalin dan dihafalkan oleh keluarga Dinasti Badra yang masih tersisa. Sebagian besar sejarah peninggalan Dinasti Badra ini juga disalin dalam tulisan tangan pada masa Kieban Sakyabadra (1850-1960 M), (Sigit Wibowo dkk, 2016: 218).
Sayangnya dalam buku Sejarah Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M), Alam Semesta Bukan Ciptaan Tuhan, Sigit Wibowo tidak memuat teks asli Babad Kanung. Namun demikian teks Babad Kanung dapat ditemukan dalam alangalangkumitir Javanese Manuscripts dengan judul Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung.
Menurut Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung, teks buku sejarah ini menggunakan bahasa Jawa Baru. Babad ini dibuka dengan kalimat: “Buku sejarah punika nyatheti wiwit ing taun Masehi 1931, saking kepek cathetan tuwin pangandikanipun Eyang Buyut canggah guru desa, tuwin Eyang Pandhita Kanung ing Pareden Kendheng Ngargapura, Pomahan, Sukalila lan Prawata”. Sementara itu dalam tambahan keterangan khususnya pada bagian babon sejarah, di dapat keterangan sebagai berikut. Pertama. Saka Cathetan lan Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura. Kedua. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem, taun Masehi: 1930. Ketiga. Pustaka Sabda Badra-Santi.
Babad Kanung Sebagai Teks Baru
Saat Sigit Wibowo menyatakan jika Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad dan Babad Kanung juga berhasil diselamatkan dari penghancuran setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun Jawa 1708 (?) atau 1478 M dan Kerajaan Pajajaran pada tahun Jawa 1809 (?) atau 1579 M, saya sangat berharap agar ada sebuah data sejarah baru. Terlebih menurut Sigit Wibowo kembali, Babad Kanung dicatat dalam rontal dan kropak bambu. Maka minimal di dapat sebuah teks Jawa Kuna atau teks yang lebih kuna lagi. Sayangnya harapan tersebut ternyata sangat berlebihan.
Sigit Wibowo ternyata tidak mengetahui dengan baik teks yang diangkatnya sebagai kajian. Ia juga tidak memberitakan secara jujur pengantar atau purwaka dan babon sejarah teks yang mendasari teks ini tercipta, sehingga menganggap data sejarah yang diangkatnya benar seratus persen. Padahal menurut purwaka, babad ini disusun sekitar tahun 1996 (Katiti ing Padhepokan Argosoka, 28 Juni 1996). Dengan menggunakan istilah babad yang mana dalam pengantar hanya ditulis sebagai ‘buku sejarah’, Sigit Wibowo sepertinya juga ingin menuakan ‘buku sejarah’ ini. Hal ini karena istilah babad, mengacu pada istilah ‘buku sejarah’ klasik khususnya era Mataram. Dan hal ini, tentu saja tidak tepat. Istilah Babad sendiri sebagaimana yang digunakan di daerah Jawa, Madhura, Bali dapat dipersamakan dengan cerita sejarah (di daerah Sunda) hikayat, sejarah, silsilah (di Sumatera, Kalimantan, Malaysia) tambo (di daerah Sumatera Barat), dan lontara (di Sulawesi Selatan), (Lihat, E.S. Ekajati, 1970: 1).
Mengingat bahasa yang digunakan bahasa Jawa Baru, banyak tulisan yang tentunya sangat tidak mungkin untuk ditulis dalam huruf Jawa. Misalnya saja Laow Tze Tao, Hud Tze Buddha, Kong Tze Khonghucu, dan Yang Tze Kiang, atau Eyang Dewi Si Ba Ha (Dewi Sibah) Dattsu Pucangsula. Hal ini karena huruf Jawa tidak ada huruf z atau huruf mati rangkap 2 (tt dalam Dattsu). Dimungkinkan, jika ‘buku sejarah’ ini tidak pernah disimpan dan diwariskan dalam bentuk naskah sebagaimana pernyataan Sigit Wibowo sebelumnya, yaitu Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad. Terlebih lagi, karena dalam teks dicatat adanya Kabupaten Jombang (Kabupaten Jombang, mbanjeng mujur mengulon tutug Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen). Dan Kabupaten Jombang sendiri, baru berdiri tahun 1910. Sangat anakronisme jika dikatakan Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad, ternyata memuat informasi tahun 1910.
Lebih tepat jika ‘buku sejarah’ ini sebagaimana pernyataan dalam babon sejarah, merupakan kisah cerita yang dituliskan kembali (Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura dan Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem taun Masehi: 1930). Kisah cerita yang didasarkan pada imajinasi. Imajinasi tanpa data yang jelas, sebab hanya mengacu pada batasan kakek-kakek dan singkek-singkek yang dimaksud. Dan imajinasi yang tidak memiliki landasan bukti sejarah, karena hanya didasarkan dari sebuah cerita.
Sangat menarik, dari ketiga sumber sejarah dari Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung yang ada, salah satunya adalah singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia. Pengertian Syuhu Gwamia atau Suhu Kwamia kurang lebih adalah peramal ulung. Atau dalam bahasa Jawanya disebut dukun. Dengan menjadikan pendapat peramal ulung atau dukun sebagai bagian dari sejarah, membuat buku sejarah yang ada, menjadi sangat tidak layak disebut sebagai buku sejarah. Keberadaan singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, juga semakin memperjelas jika sumber buku sejarah yang digunakan, memang hanya bersumber pada imajinasi.
Sumber Imajinasi
Sebagai sebuah imajinasi, Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung mencatat banyak hal. Misalnya saja Asal Usul-Usul Orang Jawa. Wong Jawa turun-temurun tutug Jaman apa wae tetep padha ngrungkepi Tatapercayaan-Suci Hwuning, naluri saka leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (=inggatan=ngumbara) saka Nusa-Hainan; jaman Jamajuja 3000 taun kepungkur (1000 taun sakdurunge Nabi Isa el Masih miyos). Guru-guru Agung bawana Masriki uga durung miyos neng Alam-ndonya, yakuwi: 1. Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu. Wondene asal-usule bangsa Chaow sing kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang udhik diapit Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai. Wong-wong mau sumebar mengidul ning bumi Tiongkok-Kidul (Nalika 4000 taun kepungkur=2000 taun sakdurunge taun Masehi), ngliwati sakidule Pegunungan Yun Lin. Ngliwati Propinsi Yunan, Propinsi Kwang Sie, Propinsi Kwang Tung. Nuli nyabrang segara munggah dharatan Nusa-Heinan, sabanjure nuli nyabrang mlebu Nusa-Bruney; sumebar anjrah dadi bangsa-anyar suku Dhayak rupa-rupa jenenge manut arane Bengawan-bengawan kono (Barito: Maanyan-siung. Kayan: Apokayan, Kenya. Segah: Segal. Maham. Punan. Sampit). Sawise dadi wong Dhayak Sampit nuli ngumbara maneh nyabrang samodra ngancik Nusa-Kendheng, malih ngganti aran: Bangsa Jawa, (Lihat, II. Jaman Kuna-Makuna [Sadurunge Tahun Masehi, Nabi Isa el masih durung miyos]).
Dari cerita tersebut, di dapat cerita bahwa bangsa Jawa dari Cina yang kemudian melewati Yunan sebelum tiba di Nusa-Kendheng. Basis kisah yang mirip dengan pendapat Robern Barron von Heine Geldern. Menurutnya, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari benua Asia (Yunnan, Cina Selatan). Kisah yang tentu saja berbeda dengan kisah asal usul bangsa Jawa dari Jawa sendiri yaitu Tantu Panggelaran. Sebuah naskah yang ditulis dengan bahasa Jawa Pertengahan.
Kesamaan tersebut tentu tidak merupakan sebuah kebetulan. Sangat dimungkinkan penulis ‘buku sejarah’ Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung memang mendasarkan pada pendapat Robern Barron von Heine Geldern. Hal ini karena basic imajinasi umumnya memiliki sumber inspirasi. Karena mendasarkan pada pendapat sejarah yang terus berkembang sesuai penemuan baru, maka teori Yunan harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan baru dan kini mulai ditinggalkan. Ditinggalkannya teori Yunan, karena teori ini sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Yunan.
Muncul kemudian teori baru yaitu Teori Out of Taiwan. Teori yang awalnya merupakan teori linguistik. Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ ini, sekalipun juga memiliki kelemahan namun lebih baik dari teori Yunan. Sebab teori ini disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya demikian mengejutkan karena mampu memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina.
Dari hal tersebut maka imajinasi bangsa Jawa dari Cina, sebagaimana yang dicatat dalam Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung yang terinspirasi dari pendapat Robern Barron von Heine Geldern, dapat dikatakan tidak tepat. Rangkaian kisah yang dibuat untuk memberi gambaran lengkap cerita, juga menjadi tidak benar.
Nilai Kesejarahan ‘Babad Kanung’
‘Babad Kanung’ dapat dikatakan sebagai satu-satunya ‘babad’ yang menyebut bangsa Jawa dari Cina. Sebagai genre ‘babad’ maka ‘Babad Kanung’ dapat dikatakan memiliki unsur kronologi yang sangat luar biasa. Di dalam ‘babad’ ini, tahun-tahun kejadian dicatat demikian terperinci, melebihi batasan yang dimiliki sebuah ‘babad’ pada umumnya. Misalnya saja. Ing taun Jawa Hwuning 205; In taun Masehi: 50; Ing taun Masehi: 100; In taun Masehi: 107; Ing taun Masehi: 110; In taun Masehi: 385, dan sebagainya.
Umumnya dalam penulisan tradisi babad, terjadi tenggang waktu antara saat penulisan dengan peristiwa sejarah yang berlangsung. Tenggang waktu itu dapat berlangsung sebentar atau bahkan berselang beberapa generasi. Adanya interval waktu tersebut, dimungkinkan terjadinya kekaburan dalam kronologis tahun yang mereka dapati, sehingga mereka lebih memilih tidak mencantumkan kronologis tahun yang ada. Berbeda dengan di ‘Babad Kanung’. Sekalipun memiliki interval waktu dengan penulisan yang terjadi jauh lebih lama lagi, yaitu dari tahun Jawa Hwuning 205 hingga tahun 1996 misalnya, namun ‘Babad Kanung’ tetap mencatat tahun kronologis tersebut dengan jelas.
Kenyataan tersebut menunjukkan sekali lagi, jika penyebutan Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebagai ‘babad’ oleh Sigit Wibowo, sangat tidak tepat. Hal ini karena tradisi penulisan kronologis hanya ada di buku-buku sejarah modern, dan bukan di tradisi penulisan babad. Tidak masuknya Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebagai babad, juga didukung oleh data bahwa pada umumnya, babad atau lebih khusus lagi babad yang mengisahkan asal usul sebuah bangsa, ditulis oleh para pujangga keraton. Sementara Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung dicatat bukan ditulis oleh pujangga keraton.
Dari hal tersebut, ‘Babad Kanung’ dalam sisi nilai kesejarahan sebagai babad rujukan menjadi sulit untuk dapat diterima. Hal ini karena ia tidak termasuk dalam kategori ‘babad’.
Menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana jika sebagai ‘buku sejarah’ sebagaimana penjelasan dalam purwaka, khususnya untuk sisi nilai kesejarahannya? Jika merujuk istilah buku sejarah, pada dasarnya mengacu pada pengertian modern saat ini. Banyak data dan sumber sejarah harus dimasukkan dalam membahas sebuah subyek sejarah. Penulis sejarah pada dasarnya juga menulis dari rangkaian hasil penelitian sejarah.
Dalam Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung, penulis ternyata tidak mencantumkan data dan sumber sejarah dalam pembahasannya, sekalipun karyanya disebut sebagai buku sejarah. Sangat menarik dalam ‘buku sejarah’ tersebut ternyata terdapat kemiripan kisah dengan yang ada dalam Sejarah Dinasti Cina yaitu, Faxian. Sebagai contohnya, catatan sebagai berikut. Ing taun: 412 Masehi ana Klana Sramana Agama Buddha asama: Pha Hie Yen lelayar saka Nalandha India, nedya bali mulih ning Tsang-An (Tiongkok); dumadakan lagi tutug Samodra Jawa-Dwipa ana angin topan gedhe. Kisah ini memiliki kemiripan dengan data Sejarah Dinasti Cina terkait Faxian, sebagaimana dicatat oleh W.P. Groeneveldt, (Lihat, W.P. Groeneveldt 2009: 9-11). Kemiripan tersebut menunjukkan jika penulis Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebagai penulis ‘buku sejarah’ mengetahui hal itu, namun tidak memasukkannya sebagai sumber pada penulisan buku sejarahnya.
Keterangan tersebut menunjukkan jika nilai kesejarahan Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebagai buku sejarah, menjadi sangat lemah. Hal ini karena ia tidak memenuhi syarat sebagai buku sejarah. Namun demikian niatan sebagai buku sejarah kiranya sudah terlihat. Di mana dalam referensi (babon sejarah) dicantumkan sumber sejarahnya. Seperti: Saka Cathetan lan Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem, taun Masehi: 1930. Terakhir, Pustaka Sabda Badra-Santi. Hanya saja sebagai ‘buku sejarah modern’ ketiga sumber sejarah tersebut tentu tidak memenuhi syarat. Tidak ada sejarah modern di dunia ini yang disusun dari peramal atau dukun. Hal ini karena sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menggunakan metode ilmiah, dengan pengujian hipotesis empiris yang diverifikasi, serta bukan selain dari itu.
Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung kiranya lebih tepat sebagai sebuah fantasi yang bertumbuh secara lambat laun dan yang kemudian dibukukan dan disempurnakan. Hal ini karena dalam tambahan keterangan disebutkan sebagai berikut. Taun Sejarah diganti taun Masehi, kanggo nggampakake pamikire para Sutresna Sejarah. Keterangan tersebut, menunjukkan jika ada upaya penyempurnaan atas naskah yang ada. Di samping itu juga memasukkan beberapa serapan bahasa Indonesia saat ini, untuk mempermudah pemahaman atas bahasa Jawa Baru yang digunakan. Misalnya saja kata ‘panglima angkatan laut’ (Lihat, IV. Jaman Jawa Dwipa).
Nafas Cerita
Sumber utama Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung berdasar teks yang ada, adalah R. Panji Karsono dan Tya An. R. Panji Karsono dalam Carita Sejarah Lasem adalah Modine wong Jawa lan Cina sa Lasem. Sementara itu Tya An adalah shinsey dan guru Bhs Kwo le Lasem. Dari sumber tersebut, kemudian disempurnakan dan diterbitkan oleh Mbah Guru. Penerbitan, dilaksanakan melalui Dewan Pengandhar Sabda Badra Santi.
Sebagai penyusun atau penulis, Mbah Guru (nama samaran, pen.) mencatat jika penyempurnaan kembali buku sejarah ini diselesaikan di Padhepokan Argosoka. Tepatnya, pada 28 Juni 1996.
Sementara itu jika dilihat secara lebih dalam, pengarang Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung, sebenarnya memiliki nafas Kristen. Misalnya saja sebagai berikut.
- Wayah esuke wong-wong padha umyeg nyatur wahanane Lintang-kemukus mau; ana wong sing nyarawidekake ning Nujum sing waskitha, wedhar wasitane: “Neng Bawana negara Maghribi rajane lagi nglumpukake Kawulane mlebu ning kutha, perlu diwilang cacah-jiwane. Ana kang sejodho, sing lanang pagaweyane tukang-undhagi; sing wadon lagi ngandheg tuwa, wong mau ora keduman pondhokan mung entuk panggonan kandhang wedhus pinggir desa. Dumadakan ning kandhang kono wong wadon mau mbabarake jabang-bayi lanang; wecane Sang Nujum: “Besuk jabang-bayi kuwi yen wis diwasa bakal dadi Raja Binanthara-nyakrawati, nanging ora kagungan Keraton ora tau pinarak dhampar-kencana, ora kagungan prajurit kang asikep gegaman perang; nelukake musuh ora kanthi merangi lan milara, mung kanthi Perbawa (Ambek asih pari-tesnane). Gesange ora kagungan Wibawa (Kamulyan sugih rajabrana), mung nyandhang sapala kandhang langit kemul mega ngumbara ndlajah desa milangkori, medhar Wasita “Begja Rahayu”. Wong-wong Pambelah mengeng nggagas wahanane weca sing aneh banget ngono kuwi, (Lihat, III. Jaman Kuna-Kobra [Ing taun Jawa-Hwuning: 230 Masehi: 1]).
- Awu layone dipetak (dikubur) dadi sakluwat karo Reliqe Eyang Dhanhyang Kie Seng Dhang ning satengahe punggur Pudhen Tapa’an, (Lihat, IV. Jaman Jawa-Dwipa).
- Ning wektu sabanjure banyu sumur kuwi kanggo mbabtis wong kang arep dadi Pandhita kanung, (Lihat, VI. Kawitane dumadine negara Kudus).
Pada bagian pertama, dikisahkan tentang kelahiran Isa el Masih. Pada bagian kedua dan ketiga terdapat istilah reliqe dan mbabtis saat menjelaskan sebuah keterangan yang bagi penulis, seakan lebih pas atas pilihan katanya dalam menerangkan dalam bahasa Jawa Baru. Semua ini menunjukkan jika penulis memiliki pemahaman lebih atas agama Kristen yang dimilikinya. Di sini penulis mampu memasukkan pemahaman Kristen atas pembahasan sejarah mengenai Asal-Usul Orang Jawa. Sekalipun khusus kelahiran Isa el Masih, dapat dikatakan tidak sinkron dengan jalinan cerita yang ada.
Nafas lain adalah keberpihakan pengarang terhadap leluhur Cina. Pengarang menyebut bangsa Jawa berasal dari bangsa Chaow. Bangsa ini awalnya dari Cina, (bangsa Chaow sing kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang udhik diapit Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai). Sementara itu penduduk asli sebelumnya tidak berbudaya. Pernyataan ini menunjukkan jika pengarang Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebenarnya tidak pernah berpihak kepada Jawa secara umum namun hanya kepada pendatang, dalam hal ini bangsa Chaow atau bangsa Cina.
Kesimpulan
- Sejarah Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M) bukan babad dan bukan pula buku sejarah. Hal ini karena kriteria sebagai babad dan buku sejarah tidak sesuai.
- Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung merupakan sebuah fantasi yang bertumbuh secara lambat laun dan yang kemudian dibukukan dan disempurnakan.
- Pengarang Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung memiliki keberpihakan kepada Kristen dan leluhur Cina.
adhie/nusantarareview.com