IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Mewujudkan Koperasi, Mewujudkan Konstitusi, Mewujudkan Indonesia

Viktor Emil Frankl (1905-1997) menulis, “Bukan hidup yang memberikan jawaban kepada kita, tapi kitalah yang harus memberikan jawaban kepada kehidupan.”

Dalam rangka menjawab kehidupan bernegara, mari kita diskusikan ekopol berbasis konstitusi. Sebab bernegara adalah berkonstitusi pun sebaliknya, berkonstitusi adalah bernegara.

Ekonomi Konstitusi Adalah Koperasi

Ekonomi konstitusi itu intinya koperasi yang memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, pakaian, rumah, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan) tetapi juga ramah dengan perbankan, tersedianya dana pensiun, sehatnya asuransi kehidupan; kesehatan, pendidikan, asset, juga distric obligation, plus re-insurance fund yang tatakelolanya dari, oleh dan untuk semua anggota.

Sementara itu visinya adalah gotong-royong. Misinya berbagi kebahagiaan dan keselamatan bersama. Karena itu, ekonomi konstitusi merealisasikan kegiatan produksi guna menghasilkan nilai guna (use-value), moral dan keberlanjutan kemanusiaan-alam raya dan spiritual.

Semua itu tentu berbeda dengan ekonomi neoliberal. Sebab ekonomi neoliberal hanya merealisasikan kegiatan guna menghasilkan nilai tukar (exchange-value), netral-profanitas dan keserakahan non sustainibilitas.

Dalam ekopol konstitusi, kita harus cerahkan hidup dengan pikiran jenius karena ia akan menjadi perkataan. Lalu, tuliskan perkataan karena ia akan menjadi tindakan. Dentumkan tindakan karena ia akan menjadi kebiasaan. Kemanusiakan kebiasaan karena ia akan membawa kita pada takdir kehidupan. Satu kehidupan individu, masyarakat dan bernegara yang adil, makmur dan martabatif. Itulah nilai-nilai Pancasila. Satu pola yang merdeka, mandiri, modern dan manusiawi.

Konstitusi Ekonomi Menurut Para Ahli

Beberapa ilmuwan telah merintis penggunaan istilah konstitusi ekonomi dalam wacana ilmu pengetahuan.

Misalnya, Rudiger Zuck (1975), Gernot Gutmann dan Werner Klein, dkk. (1976), Wolfgang Bohlin (1981) dan Werner Mussler (1998). Istilah-istilah ini pada tahun 1980-an dikembangkan oleh Rittner (1987) dalam empat konteks pengertian, yaitu sebagai berikut. 1. Sebagai kondisi aktual perekonomian nasional (actual state of national economy). 2. Model-model ekonomi, seperti ekonomi pasar atau ekonomi terencana. 3. Tiap-tiap norma hukum yang mengatur perekonomian. 4. Sebagai kalimat-kalimat pernyataan hukum yang dituangkan dalam rumusan undang-undang dasar suatu negara.

Dua yang pertama bertitik tolak dari pandangan ekonomi (Mussler, 1998), sedangkan selebihnya harus dilihat sebagai konsep hukum, khususnya hukum tata negara.

Pendekatan hukum dan konstitusi di bidang ekonomi ini dikembangkan oleh para ahli, karena adanya ketidakpastian yang luas dalam perekonomian.

Ketidakpastian terkait dengan pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep sistem ekonomi (economic system), tata ekonomi (economic order), dan konstitusi ekonomi (economic constitution).

Singkatnya, bernegara Indonesia adalah berekonomi konstitusi itu penting dan wajib. Sebab, salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah: memajukan kesejahteraan umum. Itulah arsitektur ekopol Pancasila. Soal kini ekonomi Indonesia jadi neoliberal yang dikendalikan para kolaborator, itu soal lain.

Menggelorakan Kembali Koperasi

Maka, kuingin mengingat koperasi dan ekopol konstitusi seperti mendengar dentuman, pikiran raksasa, khayalan kosmik dan kerja 1000 abad. Kerja raksasa ini kita mulai dari jauh pelacakan koperasi di seluruh penjuru negeri. Juga di antara satu kafe ke kafe lainnya, sekolah satu ke sekolah lainnya, dan NGO satu ke NGO lainnya. Tak kita temukan dirinya. Kecuali di dalam wangi gotong-royong kecil-kecil yang hidup segan mati sungkan.

Namun sayangnya koperasi kini menjadi absurd: wujuduhu ka adamihi. Mereka digilas kolaborator kolonial. Ditikam para naga pemilik Indonesia yang dansa di istana setiap bulan dari dulu hingga kini: Liem Sioe Liong (Salim Group), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), Mochtar Riady (Lippo), Tan Siong Kie (Rodamas), Ciputra (Ciputra Group), Usman Admadjaja (Grup Danamon), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal), Peter Sondakh (Rajawali), Budi Hartono (Djarum), Sugianto Kusuma (Agung Sedayu), Trihatma Haliman (Agung Podomoro), Sofyan Wanandi (Gemala), Bob Hasan (Nusamba Group), William Soerjadjaja (Astra), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), Benyamin Setiawan (Kalbe Farma), Murdaya Poo (Berca Retail Group), Soekanto Tanoto (RGM), Henry Pribadi (Napan Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific Timber), Joko Tjandra (Mulia), Husein Djojonegoro (ABC Group), Osbert Lyman (Lyman Group), Samadikun Hartono (Modern Group).

Karena dominasi penjajah dan perampok asing-aseng-asong di atas, hari ini bukanlah milik mereka yang memiliki dan menelurkan ide. Juga bukan milik visioner yang membangun arena untuk melancarkan kekuatan ide dan mentransformasikannya menjadi tindakan. Juga bukan milik para jenius yang berkarya bagi sesama. Tetapi milik para kolaborator yang menghancurkan idealisme, menghabiskan tabungan moral dan melacurkan kecerdasan-kejeniusan demi perutnya sendiri.

Sungguh, kasihan bangsa yang mengaku melaksanakan Pancasila, tapi para pencuri, perampok dan kolaborator tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya dan bahkan dapat tinggal di istana serta makan bangkai saudara-saudarinya sendiri.

Akhirnya gagasan revolusi sebagai: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, tidak mendapat tempat dan kesempatan lagi. Padahal ia seharusnya tetap menjadi panglima dalam seluruh rentang bernegara di Indonesia.

Terus terang, aku belum tahu jalan keluar selain revolusi untuk hidup di republik ini. Begitulah kini. Namun makin ke sini revolusi dan koperasi ternyata makin hilang dan irrelevan.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply