Tiap manusia bernilai karena ide dan gagasannya. Bukan berapa uangnya, anak siapa dan apa sukunya. Ini soal hidup bersama; adil, berdaulat, bermartabat dan sejahtera bersama. Tentu bukan soal hidup berbasis sara. Sebab kita hidup di Indonesia. Bukan bukan di Cina dan bukan di Amerika.
Dus, ide apakah yang mampu mengimbangi oligarki politik? Apa solusi kita dari sandra oligarki ekonomi? Soekarno dalam pidato-pidatonya menegaskan bahwa solusinya adalah Demokrasi Terpimpin. Yaitu demokrasi atau menurut istilah Undang-Undang Dasar 1945: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Demokrasi terpimpin bukanlah bentuk dari totalisme dan kediktatoran, bukan juga bentuk demokrasi liberal ala negara-negara barat. Namun, suatu sistem demokrasi yang sesuai dengan alamnya Indonesia. Demokrasi yang dijalankan dengan bermusyawarah dan dipimpin oleh kebijaksanaan (wisdom).
Dalam demokrasi ini, rumah besarnya bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, ide, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.
Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan/kesultanan/adat/cendekia.
Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.
MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).
Karenanya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal—DPR dan DPD) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.
Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.
Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.
Inilah inti demokrasi terpimpin atau disebut demokrasi terkelola. Tentu ini istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi yang berbasis pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah guna menghasilkan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Demokrasi ini pernah juga menjadi bagian dari perkembangan demokrasi di Indonesia.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono