IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Langkah Mudah Menyudahi Oligarki

Ini bulan Agustus. Bulan kemerdekaan. Bulan yang baik untuk melakukan denunsiasi dan anunsiasi atas lima problema akut. Pertama. Darurat politik—karena sangat liberal. Kedua.  Darurat ekonomi—karena sangat neoliberal. Ketiga. Darurat kebudayaan—karena sangat amoral. Keempat. Darurat agensi—karena individualis dan fasis. Kelima. Darurat agama—karena sangat fundamentalis.

Kelimanya menghasilkan arsitektur ekopol kleptokrasi yang predatorian dan agensi yang oligarkis. Bagaimana kita bisa melampaui keduanya? Dalam konteks postkolonial, caranya adalah dengan menajamkan gagasan ekonom strukturalis.

Ekonomi Strukturalis

Apa itu ekonom strukturalis? Mari kita jeli mencandranya satu-satu dan pelan. Perlu kesabaran dan kejeniusan kebangsaan. Tanpa itu, yang ada hanya mengulang-ulang kekalahan. Dan, kalah itu menyakitkan serta terjajah.

Gagasan ekonomi strukturalis adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Paham ini mengungkapkan dan mengusut ketimpangan-ketimpangan struktural yang berkaitan dengan pemusatan peguasaan dan kepemilikan aset ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi. Karena itu kaum strukturalisme menolak mekanisme pasar-bebas, karena secara inheren menumbuhkan ketidakadilan sosial ekonomi-politik dan melahirkan kejahatan kemanusiaan.

Lalu, sistem yang ditawarkan adalah koperasi. Dengan koperasi, kleptokrasi (oligopoli, monopoli, nepotisme dan kolusi) akan habis karena tunduk pada gotong-royong dan nalar bersama serta moralitas publik.

Dalam paradigma revolusi koperasi, yang tak berhingga itu pikiran bukan keinginan mengeruk kekayaan. Yang tak lekang itu cinta bukan kekuasaan. Yang tak terperi itu dosa bukan pahala. Yang tak riil itu kemerdekaan bukan penjajahan. Karena riil, penjajahan harus dilenyapkan dengan ekonomi gotong-royong. Kemerdekaan yang sempurna adalah menikam mati para penjajah dan penjarah.

Beberapa ekonomnya adalah: Thurow, Heilbroner, Galbraith, Hans Singer, Paul Baran, Paul M. Sweezy, Joan Robinson, Gunnar Myrdal, Nicholas Kaldor, Dudley Seers, Jan Tinbergen, Irma Adelman, Michael Lipton, Paul Streeten, Amartya Sen, Douglas North, Joseph Stiglitz, Gustav Ranis, Susan George, Frank Ackerman, Andrew Hurrel, Ngaire Woods, J.W Smith, Kaushik Basu, Andre Gunder Frank, Samir Amin, Theotoneo Dos Santos.

Ada juga Hernando de Soto, Ranjit Sao, C.T Kurien, Vandana Shiva, Yudi Haryono, Celso Furtado, Fernando Henrique Cardoso, Raoul Prebisch, Kwame Sundaram, Suthy Prasartset, Renato Constantino, Soekarno, Mohammad Hatta, Mubyarto, Sritua Arief, Sri-Edi Swasono, Dawam Rahardjo, Subiakto Tjakrawerdaja, Revrisond Baswir, Henry Saparini, Dani Setiawan, Rizal Ramli, dll.

Mereka memahami ekonomi global tetapi bervisi ekonomi pasar terkelola dan ekonomi nasionalis. Mereka mendukung ekonomi pasar terkelola, tapi ada sembilan hal yang tidak boleh diserahkan kepada pasar, yakni pangan, papan, pakaian, energi, pendidikan, kesehatan, militer, BUMN dan UKKM.

Karena itu visi-misi mereka adalah implementasi ekonomi konstitusi. Sebab, dalam UUD45 sudah jelas tercantum sistem ekonomi yang harus dianut Indonesia. So, mereka tinggal konsisten mengelaborasi UUD itu dalam UU dan peraturan lainnya, dari peraturan pemerintah hingga perda. Singkatnya, misi mereka adalah melawan ekonomi neoliberal.

Alasan Neoliberalisme Harus Dihilangkan

Mengapa mereka harus membunuh neoliberalisme? Karena warisan neoliberalisme adalah mental dan artefak yang menindas plus menyiksa. Suatu situasi di mana karena dipimpin para kolaborator, pada akhirnya “yang berjuang” kalah dengan “yang beruang.” Karena dipimpin para pedagang, pada akhirnya “yang cerdas” kalah dengan “yang culas.”

Sebagai akibatnya, agama tak berpengaruh pada kecerdasan. Gravitasi tak berpengaruh pada kejeniusan. Prestasi tak berpengaruh pada kekayaan. Kehormatan tak berpengaruh pada jabatan. Pancasila tak berpengaruh pada moral. Sangat menyedihkan tentunya.

Telah 22 tahun sudah bangsa ini memuja keuangan dan keculasan sambil memusiumkan kejuangan dan kecerdasan. Menikmati UUD palsu dan menjadi mafia tiada guna.

Padahal, merdeka bagi Sjahrir adalah pemanfaatan kekuasaan negara untuk menghalangi laju korporasi nasional dan internasional yang rakus dan menindas, lalu fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak super progresif serta pengarahan negara dalam memastikan pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan untuk seluruh warga negara.

Adakah elite kita yang membaca dan meneladani pikiran dan gagasan Sjahrir? Saya ragu. Lebih ragu lagi setelah membaca pidato-pidato para penguasa hari ini. Laku hidup mereka tak mencerminkan laku Pancasila.

Kini, waktu Agustus ini kita harus pilih: merdeka 100% atau menjadi terkutuk 100%.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply