IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Kekuasaan Polri Harus Dikontrol Dengan Sistem Kontrol Yang Konstitusional

Berkali-kali. Berpuluh kali. Bahkan beratus kali, buku bagus datang dan menantang. Kali ini dari guru Prijanto, seorang jendral dan mantan wagub DKI Jakarta (2007-2012). Saat bercanda dan bernarasi tentang TNI-Polri dan isu-isu mutakhir, buku ini bergerak masuk meja baca untuk dikomentari.

Menurutnya, ada yang keliru dari perkembangan sistem pertahanan dan keamanan nasional kita. Terutama dalam dua hal: Polri di bawah presiden dan ketiadaan badan keamanan nasional yang paling bertanggungjawab memenangkan perang (apapun bentuknya) jika terjadi. Yang pertama makin jauh dari protap, yang kedua juga karena diganjal oleh yang pertama.

Bayangkan. Aslinya bertugas dalam ketertiban nasional, kini struktur Polri di bawah presiden menjadi sangat besar dan kuat melampaui TNI. Mereka punya unit Brigade Mobil (Brimob), unit Dalmas, unit Sabhara, unit Reserse, unit Intelkam, unit Bareskrim yang di dalamnya semua jenis kejahatan masuk. Semua tersebar dari Ibu Kota Negara, Propinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan dan Desa lewat Babinsa Kamtibmas.

Polisi yang sangat komplit dan kewenangan yang sangat luas sampai masuk dalam setiap relungĀ  kehidupan rakyat. Tentu, kekuasaan ini jika tidak dikontrol dengan sistem kontrol yang konstitusional maka penyalahgunaan wewenang dan jabatan sangat mungkin terjadi.

Banyak bukti, akibat godaan jabatan membuat institusi polisi yang indipenden bersedia untuk menjadi alat kekuasaan dan melakukan tindakan polisional yang represif kepada siapapun yang dianggap tidak sejalan dengan penguasa. Mereka membela penguasa, membela yang bayar dan membela tuan sambil mengalahkan hukum.

Berulang terjadinya abuse of power by institution ini sudah sering terlihat, apalagi polisi menurut UU Kepolisian masih ada sistem komando. Sistem di mana komandan memegang penuh kendali perintah dan operasi. Dan, para komandan ini dipilih eksekutif/pemerintah.

Memang, hari demi hari lembaga kepolisian kita mengalami empat hal genting. Pertama. Distrust (kehilangan kepercayaan dari semua warganegara). Kedua. Disorientasi (kebingungan internal karena beragam faksionalisasi). Ketiga. Disjob (kehilangan jabatan strategis tetapi mendapat jabatan di lain tempat). Terakhir, Dismiss (dituntut dibubarkan atau direformasi sesuai tupoksi yang waras dan demokratis).

Begitu hebatnya Polri, sampai mereka menolak lahirnya UU Kamnas dan lembaga seperti Dewan Keamanan Nasional. Sebab, jika itu terjadi, struktur Polri dan tupoksinya menjadi mengecil dan waras. Tidak seperti hari-hari ini.

Nah, dalam konteks yang lebih waras, strategis, berdaulat dan martabatif, buku ini hadir untuk memastilan kembali pentingnya UU Kamnas dan lahirnya lembaga Dewan Keamanan Nasional. Penggunaan istilah keamanan nasional karena merujuk pada perlindungan nation (bangsa). Dalam perspektif hubungan internasional, bangsa mendirikan negara untuk melindungi dirinya, sehingga keamanan nasional yang dimaksud adalah sistem untuk melindungi bangsa dan negara oleh dirinya yang dibentuk oleh bangsa itu sendiri dari ancaman yang datang dari luar atau dari dalam negara, baik militer maupun non militer.

Jadi, secara filosofis, yuridis dan sosiologis kedua hal tersebut (UU Kamnad dan DKN) penting bahkan sangat penting. Tanpa itu, yang kita alami adalah kemarau keamanan dan banjir kerawanan. Inilah potret kita 20 tahun terakhir dalam bernegara dan berbangsa.

Buku ini ditulis oleh trio Harjo Susmoro, Opsla dan Siagian. Mereka merupakan para peneliti tangguh dalam tema Kamnas. Buku yang diterbitkan oleh Unhan-RI Press, tahun 2022, setebal 125 hlm+vi, berukuran 15cm x 21cm dan bernomor ISBN: 978-623-5885-18-6.

Rekomendasi buku yang sangat baik dan didukung oleh banyak pemikiran sudah kita sampaikan ke presiden dkk. Tetapi, lambatnya penyelesaian dalam hal genting ini menjadi bukti bahwa kualitas kepemimpinan (baik kolektif maupun individual), memang sangat buruk. Mungkin terburuk dari sejarah pemerintahan yang telah ada.

Risikonya, saat ini bagi kita rakyat kebanyakan adalah menikmati negara swasta dan pemerintahan predatorian serta Polri yang tak melindungi serta makin tak ditemukannya keadilan. Semoga elite kita segera sadar dan bertobat, lalu bersegera menjadi agen Pancasila yang gagah dan menyejarah.

Kini dan selanjutnya, kedaulatan, keamanan, kesentosaan dan hukum negara yang adil harus menjadi tonggak tertinggi dalam alam keIndonesiaan. Tanpa itu, jangan harap nama kita layak jadi teladan dan masuk sorga di akherat kelak.(*)

 

Penulis resensi: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply