IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Menghadirkan Kembali Budaya Sebagai Penentu Keberhasilan Bangsa

Indonesia saat ini tengah memperingati hari kemerdekaannya yang ke 77. Dalam usia yang telah mencapai 77 tahun ini, Indonesia ternyata masih tertinggal dari beberapa negara Asean. Indonesia juga belum mampu mensejahterakan dan mencerdaskan rakyatnya, sesuai dengan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Hal ini dapat dilihat dari data Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih berada pada level menengah di dunia. Berdasarkan laporan resmi UNDP pada 21 Maret 2017 yang lalu, HDI Indonesia adalah: 0.689 yang berada pada urutan 113 dari 188 negara yang diteliti. Peringkat Indonesia ini jauh di bawah Singapore, Brunei Darusalam, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu angka  harapan hidup (Life expectancy at birth) Indonesia rata-rata  adalah 69.1 tahun dan rata-rata lamanya untuk sekolah (Expected years of schooling) adalah : 12.9 tahun.

Belum lagi dalam percaturan dunia. Daya saing Indonesia masih dicatat sangat memprihatinkan. Menurut laporan Institute for Management Development (IMD) World Competitive Year book 2022, daya saing Indonesia dicatat merosot. Pada saat ini berada di posisi ke-44 dari posisi 37 di tahun 2021. Peringkat ini menjadi yang terendah sejak 5 tahun terakhir atau tahun 2018. Padahal berdasar survei IMD World Competitiveness Ranking tahun 2020, peringkat Indonesia berada di posisi 37, berada di bawah Singapura (peringkat 5), Malaysia (peringkat 25), dan Thailand (peringkat 28). Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia tahun 2021 seperti diumumkan oleh Transparency International (TI), bahkan dicatat meningkat 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100, atau berada diurutan 96 dari 180 negara yang diukur. Kondisi tidak kuatnya daya saing ini dikarenakan angka kemiskinan relatif tinggi. Berdasarkan laporan BPS yang dirilis pada Maret 2022, terdapat 26,16 juta atau sekitar 9,54% penduduk Indonesia berstatus miskin. Angka pengangguran pada Februari 2022 juga masih cukup tinggi yaitu sekitar 5,83 % atau jumlah  pengangguran di Indonesia mencapai 8,40 juta.

Modal Budaya Diabaikan Dalam Bernegara

Kondisi tersebut sangat kontras dengan besarnya modal budaya dan kekayaan sumber daya alam  yang dimiliki Indonesia. Bangsa Indonesia bahkan juga dikenal sebagai suatu bangsa yang memiliki peradaban terbuka dengan tingkat solidaritas dan kebersamaan yang tinggi. Bangsa yang berjiwa ”kolektivisme” (bukan individualisme), di mana di dalamnya terkandung budaya  luhur yang telah ratusan tahun berkembang. Seperti misalnya: gotong-royong, kekeluargaan, toleransi, musyawarah untuk mufakat dan masih banyak lagi.

Di samping itu, budaya bangsa Indonesia juga dicatat memiliki keberagaman yang sangat tinggi.  Ia merangkum berbagai kebudayaan yang tumbuh di dalamnya dalam bentuk-bentuk kearifan lokal (local wisdom), ilmu pengetahuan dan teknologi, karya, keahlian, serta bentuk-bentuk kebudayaan lainnya yang bersifat unik.

Bangsa Indonesia pun memiliki Pancasila yang digali oleh para founding fathers dari akar budaya bangsa Indonesia serta telah ditetapkan sebagai dasar negara (staat fundamental norm) dan pandangan hidup bangsa (welt anschauung) dalam upaya menjaga keutuhan bangsa-negara maupun dalam mencapai tujuan nasional. Dalam mengekspresikan dirinya sesuai dengan ideologi Pancasila, bangsa Indonesia dicatat memiliki cara pandang (visi) Wawasan Nusantara yaitu visi kenegaraan sekaligus semangat yang memandang seluruh kepulauan Indonesia beserta seluruh isi dan kandungannya sebagai satu kesatuan yang utuh. Wawasan Nusantara ini tumbuh dan berkembang secara bertahap, dibangun secara internal dengan mengikut sertakan seluruh kalangan bangsa Indonesia, dan secara eksternal dalam perjuangan di forum internasional khususnya di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun sayangnya, modal tersebut tidak pernah digunakan ataupun belum dimanfaatkan untuk membangun bangsa. Wajah budaya yang dihadirkan ternyata hanya wajah negatif budaya. Seperti misalnya: feodal, rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari kambing hitam. Hal ini terlihat dari banyaknya kebijakan negara yang mengacu dari wajah buruk budaya tersebut. Malas misalnya, melahirkan kebijakan yang dapat disebut dengan kebijakan membiarkan banjirnya hutang dan impor dari negara lain. Rendah diri misalnya, melahirkan kebijakan yang tidak mandiri dari sisi industri, pertahanan, pertanian dan sebagainya. Feodal misalnya, melahirkan kebijakan pendidikan mahal yang hanya diraih diraih oleh sedikit warga semata. Munafik misalnya, melahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan publik.

Budaya Seharusnya Menjadi Faktor Penentu Keberhasilan

Dalam beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Keesing (1974), Lindsay (2000), Huntington (2000), Hezel (2009) dan beberapa peneliti yang menguatkan temuan sebelumnya, pada dasarnya telah ditegaskan bahwa kebudayaan sesungguhnya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya suatu bangsa. UNESCO bahkan memberi kesimpulan bahwa budaya adalah peluang untuk mengembangkan, menggerakkan dan menghubungkan pembangunan berkelanjutan. Culture is a driver, enabler and enricher of sustainable development ‘Budaya adalah pendorong, penggerak, dan pengaya pembangunan berkelanjutan’.

Karena itu menempatkan budaya positif dalam setiap strategi pembangunan seharusnya dapat menjadi faktor pendorong yang kuat bagi pencapaian pembangunan. Sayangnya budaya positif ini ternyata bukan yang dikembangkan. Yang terjadi selama ini justeru erosi aspek keunggulan budaya dan “promosi” pada aspek kelemahan budaya. Sebuah ironi tentu saja.

Tidak berlebihan bila pada saat ini dengan mudah disaksikan kemunduran budaya yang diwarnai dengan lunturnya Pancasila, patriotisme, nasionalisme, semangat Bhinneka Tunggal Ika, toleransi, gotong-royong, musyawarah-mufakat, dsb. Sebaliknya telah tumbuh subur budaya pecundang (looser mentality), mental kere (culture of poverty), nerimo ing pandum, budaya “short cut”, konsumtivisme, hedonisme, materialisme, machiavelianisme, individualisme, fanatisme sempit bahkan radikalisme.

Sebagai akibatnya bangsa Indonesia yang tadinya hidup rukun, damai, penuh keramah-tamahan telah berubah drastis dalam waktu relatif singkat menjadi penuh konflik, anarkhi, tawuran, amuk massa dan sebagainya yang dapat kita saksikan hampir setiap hari di layar televisi atau mass media lainnya. Wawasan Nusantara sebagai visi kenegaraan yang memandang Indonesia beserta seluruh isi dan kandungannya sebagai satu kesatuan yang utuh nyaris sirna.

Mengembalikan Budaya Sebagai Pendorong, Penggerak, dan Pengaya Pembangunan Berkelanjutan

Mengembalikan budaya kembali ke relnya yaitu sebagai pendorong, penggerak, dan pengaya pembangunan berkelanjutan, pada saat ini kiranya perlu menjadi sebuah tujuan besar bernegara. Semua itu untuk menghapus lima permasalahan besar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membuat modal dasar yang telah dimiliki bangsa Indonesia untuk berkembang, kurang dapat dimaksimalisasi.

Menurut Wibawarta (2016), lima permasalahan besar tersebut adalah sebagai berikut. Pertama. Krisis nation character. Kedua. Economy gap. Ketiga. Old mindset. Keempat. Corruption. Kelima. Moral hazard.

Karena itu, untuk mengembalikan budaya menjadi penentu keberhasilan perlu dimulai dari membangun karakter (character building) yang telah dicanangkan sejak awal oleh bapak bangsa Indonesia. Salah satunya dengan memperkuat berkepribadian dalam kebudayaan. Memperkuat berkepribadian dalam kebudayaan di sini adalah memperkuat budaya positif dan mengikis budaya negatif yang ada. Dalam sisi pelaksana kebijakan negara misalnya, yang ada adalah melahirkan kebijakan-kebijakan baik yang berguna bagi perkembangan dan kemandirian bangsa.

Berkepribadian dalam kebudayaan juga bukan semata-mata melarang dengan keras masuknya budaya-budaya luar (Barat) ke Indonesia. Namun bagaimana menjadikan budaya-budaya luar tersebut menjadi terpilih untuk memperkaya budaya Indonesia. Dalam artian budaya-budaya luar tersebut harus dapat difilter, menjadi budaya yang positif saja yang masuk ke Indonesia untuk memperkuat budaya Indonesia.*

 

Penulis: Dr Susetya Herawati S.T M.Si

 

Sumber gambar:

https://www.kompasiana.com/adeltiara04/628790b11583472db11716a2/21-mei-2022-memperingati-hari-dialog-dan-pengembangan-perbedaan-budaya-sedunia

Bagikan ya

Leave a Reply