Berbeda dari ahli politik yang lain, saya punya hipotesa bahwa utusan daerah dan golongan dihadirkan dalam arsitektur tata negara kita adalah: untuk memastikan kesetimbangan antar badan publik. Artinya, agar tidak ada dominasi pasar atas lainnya.
Dominasi pasar atas negara, agama dan rakyat akan menghasilkan neoliberalisme. Hilirnya oligarkisme, kartelisme, predatorisme. Maka, cara mengatasi dominasi pasar itu adalah menghadirkan badan publik lain yang non pasar: yaitu utusan daerah dan utusan golongan. Akhirnya nanti ada 3 badan publik yang membangun kamarnya dalam usaha membangun konsensus politik di tingkat negara. Tiga badan publik inilah disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu sebagai politik majelis.
Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan.
Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.
MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).
Karenanya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah).
Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal yaitu: DPR dan DPD) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi. Tentu karena amandemen kita lupa genealogi utusan daerah dan golongan, tak paham ontologi berdirinya MPR.
Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.
Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.
Tentu saja, yang mengirim utusan itu diatur dalam UU, di mana presiden hanya menetapkan. Presiden hanya berfungsi administrasi dan tak bisa intervensi dalam penyusunan wakil-wakil dari golongan dan daerah itu.(*)
Penulis: Dr. M, M. Yudhie Haryono