Ibu kesedihan itu adalah saat tahu bahwa orang yang kita cintai, menderita. Sedangkan ayah kesedihan itu adalah saat tahu bahwa pemimpin yang kita pilih, menipu. Kini, aku mengalami puncak-puncak kesedihan itu: kekasih yang menderita dan kepala negara yang menipu.
Kalian tahu? Bila waktu revolusi telah datang, tentu mukjizat tak kan pergi. Terimakasih karena revolusi telah memberikan bakti dan persahabatan plus penyelamatan. Semoga alam raya memudahkan jalan bagi Indonesia meraih keadilan dan kemakmuran. Aamiin.
Izinkan kubertanya. Adakah yang bisa menjelaskan seluruh peristiwa di Indonesia? Ada. Apakah itu? Mari kita cermati satu demi satu.
Pencarian Akar Permasalahan Bangsa
Selama bertahun-tahun membaca, melakukan penelitian dan mempublikasikannya, saya telah melakukan eksperimen dengan akurasi dan proyeksi yang luar biasa hampir sampai pada setiap kesimpulan untuk mencari tahu: “Apa penyebab utama negara kita jalan di tempat.”
Tentu, ikhtiar ini sambil menyadari bahwa di planet ini, tidak ada negara yang persis sama, nasib dan sejarahnya. Arsitekturnya beraneka rupa. Ada negara yang berpenghuni warga bodoh sehingga tak mampu mengatasi problemnya.
Ada negara yang berpenghuni warga cerdas tetapi ribut dan konflik internal secara terus menerus. Ada juga yang penghuninya heterogen tetapi mendapati bencana alam dan penjajahan sehingga multifokus dan gagal menyelesaikan problemanya.
Karenanya, teori segala hal ikhwal untuk tiap negara juga berbeda-beda. Demikian pula Indonesia. Jika sama, kita tinggal kopi paste saja. Dalam posisi ini, saya menulis banyak buku. Bahkan menyumbang satu teori baru. Namanya psikohermeneutika. Dari proses pembelajaran dan penuangan menjadi buku tersebut, saya semakin lama semakin tahu jika diskursus agama itu penting tapi bukan yang terpenting, bahkan pariferal dan segmented.
Selanjutnya, saya mengarungi diskursus ekopol yang luas dan menantang. Setidaknya, saya menemukan dua sistem ekonomi besar yang bertempur: yakni sistem ekonomi pasar (neoliberal) dan sistem ekonomi terencana dan terkelola (Pancasila). Keduanya dikerjakan dan dipilih oleh masing-masing rezim dengan melihat kondisi sosial ekonominya.
Dalam posisi ini, saya menulis banyak buku. Bahkan menyumbang satu teori baru. Namanya triasekonomika. Tetapi, makin lama saya tahu, diskursus ekopol itu penting tapi bukan yang paling penting. Diskursus ini hanya mampu menjelaskan satu dua hal saja dan mampu menyelesaikan satu dua persoalan Indonesia.
Problem Utama Bangsa Dan Negara Adalah Pada Mental dan Karakter
Sampailah pengembaraan intelektual saya ke dalam diskursus mental. Inilah problem utama dan terbesar bangsa dan negara kita. Mental/karakter adalah segala hal yang berhubungan dengan jiwa, batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badani atau konstruksi.
Secara etimologi “character” berasal dari bahasa Latin yang berarti instrument of narking. Bahasa Prancisnya “charessein” berarti to engrove (mengukir). Bahasa jawanya “watek” berarti ciri-wanci. Bahasa Indonesianya “watak” berarti sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku; budi pekerti; tabiat; perangai.
Secara harfiah, mental atau karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama, atau reputasi seseorang. Dalam psikologi dinyatakan bahwa mental atau karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moralnya. Karenanya, mental is not taught but caught ‘tidak diajarkan tapi ditangkap’. Terlebih, when wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character (mental) is lost, all is lost, ‘Ketika kekayaan hilang, tidak ada yang hilang; ketika kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang; ketika karakter (mental) hilang, semuanya hilang’.
Atas argumen tersebut, kita harus mencetak dan mentradisikan mental Pancasila yang berlandaskan pada lima dasar statis bersendi empat dasar dinamis sehingga tercipta semangat merdeka, berhukum, berkonstitusi, berpemerataan, bernalar, bersetara, berheterogen, berprestasi, berkebebasan, berkedaulatan, bermandiri, bermodern, berkemajuan dan bermartabatif.
Mental Pancasila dengan demikian adalah anti mayorokrasi (diktator mayoritas) dan anti minorokrasi (diktator minoritas). Anti liberalisme (neoliberal) dan anti komunisme (fasis-feodalis). Mental ini bersemayam dalam sosialisme, humanisme dan multikulturalisme yang stabil dan berkelanjutan.
Mental yang revolusioner ini bermata ganda: 1. Ke luar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme; 2. Ke dalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan kartelisme.
Teori mental (konstitusional) inilah menurut saya sebagai the theory of everything ‘teori segalanya’ untuk Indonesia yang jelas, kuat dan argumentatif. Dengan menyelesaikan problema mental kita, saya yakin, 99% problema Indonesia dapat diselesaikan.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono