“Mengapa gerakan Islam (parpol dan ormas) selalu kalah di Indonesia?” tanya Prof Vedi R. Hadiz dalam kuliah umum di FISIP UI beberapa tahun lalu. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu dengan berkata: “Karena Islam di Indonesia tidak memiliki borjuasi nasional.” Satu kekalahan politik yang berdampak pada ketiadaan populisme islam yang pada gilirannya melahirkan kelompok frustasi yang dimakan oleh kapitalisme asing dengan menjadikan mereka martir terorisme di bumi Nusantara ini.
Mengapa borjuasi dan konglomerasi Muslim absen? Mengapa absennya mereka menjadi sebab kekalahan politik? Mengapa kekalahan politik mereka melahirkan terorisme? Tulisan ini ingin berbagi hipotesa soal kehancuran borjuasi pribumi, deindustrialisasi nasional dan menjamurnya radikalisme-terorisme muslim sebagai batu pertama kemenangan neoliberalisme di Indonesia.
Dimulai dari Orde Baru Mengundang Kapitalisme Asing
Bagaimana kisahnya? Mari buka banyak buku. Kapitalisme di Indonesia memiliki akar kolonial yang sangat panjang. Ia mewujud seturut dengan faktor kesejarahan yang melingkupinya. Secara umum, bentuk-bentuk revolusi kapitalisme dikondisikan oleh: karakter pra-kolonial masyarakatnya, pengaruh kolonialisme terhadap masyarakat dan ekonomi, pembentukan dan perpecahan kelas-kelas di bawah pemerintahan kolonial, karakter konflik politik pasca kemerdekaan, posisinya dalam ekonomi internasional dan corak pemanfaatan sumber daya alamnya.
Masuknya kapitalisme di Indonesia mengambil pola yang beragam: melalui penaklukan atas penguasa lokal, aliansi politik dan pengaturan finansial, pemaksaan terhadap penguasa lokal atas ketersediaan hasil bumi melalui monopoli, akses terhadap tanah, tenaga kerja dan hasil bumi berdasar kebutuhan kolonialis.
Tetapi, di masa pasca kemerdekaan, terutama sejak Orde Baru, kapitalisme masuk karena “diundang oleh kolaborator lokal” untuk memperkuat cengkraman politiknya. Dus, ada mutualisme di dalamnya. Kegiatan ini jadi perampokan yang direstui. Pencurian legal karena dilindungi UU. Hubungan resiprokal tanpa kritis via jalur sutra (silk road) berjejaring aseng dan via jalur orientalis (orientalism road) berjejaring asing.
Sungguh. Masuknya kapital yang dibawa oleh aseng-asing ternyata hanya imajinasi re-kapitalisasi Indonesia. Sebab ia hadir hanya untuk memastikan tumbuhnya deindustrialisasi. Memastikan kita menjadi pemasok mata rantai globalisasi saja: tak kurang, tak lebih.
Karenanya, industri lokal pribumi yang kuat (kopra, rokok, garam, herbal, rempah, garmen, perahu, kecantikan, dll) dihancurkan dan dibeli. Sebagai gantinya tumbuh industri perbudakan (TKI&TKW) dan industri korupsi yang luar biasa besar. Berubahlah kita dari bangsa produsen ke mamalia konsumen. Bahkan kini, konsumsi jadi penopang pertumbuhan ekonomi. Tak ada satupun industri nasional hidup dan tumbuh. Bahkan wiraswasta pun dijauhi. Jadi kelas paria yang dijijikkan. Seluruh mata kuliah bisnis, wirausaha dan produsen diharamkan hadir di seluruh jenjang sekulah kita.
Singkatnya, dalam konteks kesadaran borjuasi nasional, kita berhadapan dengan tiga problem: 1. Berubahnya mental pengusaha menjadi budak. 2. Berkuasanya kurikulum perbudakan di semua jenjang pendidikan: formal, informal dan nonformal. 3. Berlangsungnya kultur konsumerisme di semua lapisan warga.
Strategi Mengatasi Masalah
Karenanya, saat politik kita dikhianatkan dari konstitusi dengan menyembah uang, semua politisi Muslim dan Pribumi – KO. Kalaulah mereka sempat menang, mereka tak berkuasa. Kalaulah mereka berkuasa, mereka tak memiliki. Kalaulah mereka memiliki, mereka tak menentukan harganya.
Apa hilir dari kekalahan beruntun? Pelarian dan mimpi yang dipendekkan. Syariahisme, fundamentalisme, terorisme menjadi pilihan. Satu pilihan yang kemudian digoreng oleh kapitalis buat bisnis. Sebab, bagi kapitalisme, semua harus dibisniskan demi kepastian seribu tahun kemenangan di masa depan.
Tanpa kesadaran borjuasi, tanpa kesadaran penguasaan SDA dan industrinya, tanpa kuasa negara (3 hal terpenting dalam berbangsa dan bernegara), sesungguhnya kita bunuh diri dan mengkhianati konstitusi (pasal 33 UUD45). Bagi para pengkhianat, tak ada nasib kecuali dilaknat. Kalau tidak sekarang, ya besok di akherat. Inilah yang sedang berulang. Sejak begundal lama sampai yang terbaru.
Sedang kalian yang belum siuman, ayok bangun, baris berpasukan rebut kembali lima kemerdekaan yang hilang! Merdeka, mandiri, modern, mendunia dan martabatif.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono