Kita perlu bertanya, “apa yang sedang dilakukan presiden dengan Nawacitanya di tengah empat perang bersamaan: proxy war, asimetric war, currency war dan agency war?”
Apa yang ia lakukan dengan program revolusi mental seiring sedang bertarung antara neoliberalisme (kapitalis private) melawan neokomunisme (kapitalis negara). Sebuah perang yang akibatnya membuat krisis (keuangan) di mana-mana. Jika lihat pernyataan pemerintah maka jelas kita baru sebatas penonton.
Belum ada langkah radikal. Belum ada terobosan. Belum ada tindakan. Maka, zaman Orde Baru orang waras bertanya “apa enaknya.” Sedang masa reformasi, orang waras berucap “apa adanya saja tak ada.” Coba sebutkan apa yang luar biasa kini di zaman tidak biasa?
Jadi. Ini soal kedaulatan berbangsa dan bernegara. Ini soal lama tapi aktual. Soal genting di zaman penting. Soal kewarasan di tengah kegilaan.
Ekonomi Dependensia
Pak Presiden, tanpa menggurui pada tuan, izinkan saya mengulang kembali kesalahan-kesalahan rezim Orba dan Neo-orba yang membuat pondasi liberalisme dan neoliberalisme. Rezim yang menyembah pasar penghasil dependensia (ketergantungan) dan ketimpangan (tidak mandiri, apalagi berdaulat).
Teori ekonomi dependensia pertama kali dicetuskan Paul Baran. Dalam buku On the Political Economy of Backwardness (1952), Baran menjelaskan berbagai faktor penyebab keterbelakangan ekonomi di negara postkolonial, terutama di Amerika Latin.
Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat, elit internal dan investor asing, Baran melihat adanya kontradiksi antara imperialisme, proses industrialisasi dan ekonomi pembangunan umum di negara postkolonial tersebut.
Baran mengakui bahwa investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dari negara penjajah (MNC) di negara terjajah di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan nasional, namun di sisi lain peningkatan pendapatan di negara postkolonial tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat miskin tersebut karena tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Keuntungan yang dihasilkan oleh investasi perusahaan multinasional melalui eksploitasi sumber daya alam dan manusia (SDA&SDM) di negara postkolonial tidak dinikmati secara merata. Keuntungan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik saja.
Baran menyimpulkan bahwa pada dasarnya “investasi asing tidak meningkatkan kesejahteraan negara postkolonial.” Yang terjadi hanya perubahan kebiasaan sosial rakyat miskin serta perubahan orientasi dari kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri menjadi orientasi produksi untuk memenuhi pasar luar negeri.
Liberalisme dan Kapitalisme telah Gagal Perbaiki Kesejahteraan Rakyat
Di negara postkolonial, liberalisme dan kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin, tetapi sangat berhasil menstabilisasi semua ketimpangan ekonomi dan sosial yang melekat dalam sistem tata negara postkolonial.
Masih ingatkah kawan, dengan dialog-dialog kita menjelang pilwakot Solo kedua dulu? Saat kita bersumpah atas nama Pancasila dan rakyat miskin sepertimu untuk merubah struktur ekonomi warisan rezim begundal dan pesolek? Kok makin lupa, sepertinya.
Di tanganmu, rakyat miskin tambah miskin dan mati di lumbung padi. Kasihan. Nasib meresahkan di tengah revolusi mental dan Nawacita yang makin hilang di peredaran.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono