Meneruskan kesadaran ekonomi nasional yang makin sekarat, kini kita memasuki hal yang paling mengerikan: baik angkanya, nasibnya, maupun destruktifnya bagi warga negara Indonesia. Yaitu bisnis perundang-undangan. Jual beli pasal dan jual beli kebijakan. Aktor dan lembaganya jelas.
Bisnis ini mulai marak dikerjakan oleh ekonom-ekonom neoliberal yang beraksiologi begundal-lokal. Di republik ini imamnya bernama Widjojo Nitisastro. Cara kerjanya: ikat seluruh perekonomian via politik perundangan yang membuat sebuah negara tak bisa apa-apa dan tidak ke mana-mana serta tak menemukan alternatif apalagi terobosan.
Dimulai Dari Dihadirkannya Legal Drafting dan Legislative Drafting
Pengikatan itu dikerjakan via tahapan perancangan hukum (legal drafting). Tentu ini unsur penting dalam praktik hukum. Legal drafting merupakan kombinasi dari dua kata, yaitu “legal” dan “drafting.” Secara harfiah, kata “legal” bermakna sesuatu yang sesuai dengan ketentuan hukum, sedangkan “drafting” bermakna perancangan/pengkonsepan. Jadi legal drafting adalah perancangan hukum demi subjek tertentu.
Pengertian dan cakupan legal drafting berbeda dengan pengertian legislative drafting. Legislative drafting berhubungan dengan perancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang, yaitu dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara legal drafting berkaitan dengan perancangan hukum yang dibuat oleh subjek hukum baik perorangan dan/atau badan hukum (lembaga yang berwenang), yaitu dalam bentuk MoU, perjanjian kerja sama, perjanjian/kontrak.
Perbedaannya pada fokus pembahasan materi antara legislative drafting dan legal drafting, meskipun prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam materi legislative drafting tetap diperlukan juga untuk materi legal drafting.
Kedua langkah itu pada awalnya berniat mulia: memastikan Indonesia sebagai negara hukum. Tetapi kenyataan yang terjadi sebaliknya. Sebab para agensi pembuat itu merupakan proxy dari pengiman pasar yang menyembah uang dan meneruskan kolonial lama. Apa buktinya? Seluruh UU kita tak memihak warga negara. Semuanya memihak, menguntungkan dan menguatkan investor.
Hal tersebut terjadi karena UU itu dikerjakan, dibiayai dan dikendalikan oleh investor demi kepastian bisnis mereka di Indonesia. Nilainya sekitar 700 triliyun/tahun.
Untuk memastikan bisnis perundangan ini lancar dan mantap, mereka memuncakinya dengan membuat kepala negara boneka. Bisnis (kursi) presiden. Digelontorkannya projek senilai 1000 triliun demi ambisi tersebut. Mereka tak puas jika kapitalnya bertambah. Mereka maunya berlipat-lipat dan berlimpah-ruah. Tetapi, buahnya memang luar biasa. Sebab nasib kita selama seribu tahun ke depan telah terduga, yaitu bangga menjadi budak dan budaknya bangsa-bangsa di tanah air dan udara sendiri.
Akibat Yang Ditimbulkan
Akibat kedua langkah tersebut sangat parah. Duka warga negara Indonesia bagai dukanya keluarga keluarga besar Mataram yang tanah pesisir utara sebagai tanah utama kehidupan hilang. Hari dan tanahnya adalah yang hanya membesarkan Kompeni dan memiskinkan Mataram. Hidup menjadi hanya untuk menangis dan menderita.
Bisa dinalar nasib di atas karena kekuasaan ekonomi-politik sebagai kemampuan untuk membuat warga dan negara tunduk dibuat oleh mereka yang oligarkis. Para oligark yang tak pernah bayar pajak dan merusak sesama.
Mereka terus tumbuh gendut, karena enam bisnis utama. Seperti: 1)Bisnis teroris; 2)Bisnis pelacur; 3)Bisnis narkoba; 4)Bisnis judi; 5)Bisnis undang-undang; 6)Bisnis presiden. Lalu mendapatkan kuasa balas jasa (reward power), kuasa paksa (coercive power), kuasa rujukan (referent power), kuasa keahlian (expert power), kuasa peradaban (civilitation power) dan kuasa resmi (legitimate power).
Lalu, masyarakat mau apa kini? Kok terlihat cuma berteriak NKRI Harga Mati. Kok bengong dengan Pancasila yang telah dihilangkan maknanya.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono