Hidup mungkin lebih mudah dinikmati jika kita tak tahu yang terjadi di sebaliknya yang rumit dan berbelit-belit. Pada buku Pram, beberapa yang rumit itu membuat berkenyit. Semoga kita dapat takdir terbaik: khusnul khatimah. Bukan sembelit melainkan berkah.
Aku menemukan harta karun ini di sela menghadiri forum bisnis di Apartemen Evensiio Depok. Saat itu, dari arah kampus UI, aku jalan lambat menuju tempat pertemuan. Tiba-tiba mataku melihat mahakarya Pramoedya yang belum kupunya. Padahal, selama ini merasa sudah lengkap koleksinya.
Pram Dan Prediksi Tentang Indonesia
Sambil bersiul, aku berhenti dan membelinya. Cuma duaratus ribu harganya. Kubuka dengan riang. Pada halaman lima tertulis: “Kita akan mengakhiri zaman kali dan masuki zaman yuga. Pada masa Kaliyuga, ada banyak aturan yang saling bersaing satu sama lain. Ada institusi-institusi saling berperang. Mereka tidak akan punya tabiat baik dan moral etis. Kekerasan, kepalsuan dan tindak kejahatan akan menjadi santapan sehari-hari.
Kesucian dan tabiat baik perlahan-lahan akan merosot, hilang tinggal cerita. Gairah dan nafsu menjadi pemuas hati di antara manusia. Wanita akan menjadi objek yang memikat nafsu birahi. Kebohongan akan digunakan untuk mencari nafkah. Orang-orang terpelajar kelihatan lucu dan aneh. Hanya orang-orang kaya yang akan berkuasa. Oligarki merajalela.”
Wah, nujum guru Pram tepat sekali. Kita sedang menikmati filsafat keuangan yang maha kuasa dan persatuan pembohongan di istana. Kita sedang menyaksikan kerakyatan yang dihancurkan senjata dan mafia, demokrasi ditelikung para predatori licik di semua pojok-pojok republik.
Kita tahu, pada awal karirnya sebagai penulis, Pram menghasilkan berbagai bentuk karya tulis: prosa, puisi, cerita pendek dan esai. Karya-karya tersebut tersebar pada berbagai majalah dan media lainnya. Buku ini merupakan rangkuman dan kliping oleh Astuti Ananta Toer yang diberi judul Menggelinding. Sebuah buku yang dengan apik menggambarkan perjalanan seorang penulis dalam menemukan suara dan pemikirannya sendiri: jati diri dan posisi jiwa.
Imaji dan Realisasi Bangsa Menurut Pram
Sebagaimana biasanya, Pram sang penulis agung dalam mencetak karya, maka cerita-cerita dalam buku ini memperlihatkan Pramoedya sebagai seorang visioner. Realisme dalam tulisannya menunjukkan gambaran masyarakat yang nyata, riil tidak dibuat-buat. Dengan menceritakan cacat dan borok-boroknya, Pram berhasil memperlihatkan kita sebuah gambaran yang utuh tentang konsep “bangsa Indonesia.” Dan, di sini kelebihan sekaligus kesulitannya yang tak ketemu padanannya.
Pram berhasil memotret Indonesia dengan jati diri yang kuat, sekaligus sulit mencari penerusnya yang dahsyat. Terlebih setelah kita mabuk media ecek-ecek yang anti buku bermutu. Kita kini tenggelam dalam amok medsos degil berjuta ton di semua lini.
Melalui semua karyanya, Pram memilah, memilih, menegaskan dan memastikan postur mental bangsa ini. Ia membentuk kepribadian Indonesia: watak dan perangainya. Pram dengan semua bukunya berhasil membentuk “imaji dan realisasi bangsa,” memperlihatkan kelemahan sekaligus kelebihan orang-orang Indonesia. Lemah karena beragama KKN dan lebih karena bertradisi hibridasi.
Buku ini diterbitkan oleh penerbit Lentera Dipantara, berjudul Menggelinding 1, tahun 2004, setebal 576 halaman dan berISBN 979-9731224. Ukurannya 13×20 cm. Isinya sangat luas, menyentuh dan menggiriskan.
Buku yang memberitahu bahwa orang Indonesia kini hobinya lima, membuat berita bohong, merekayasa alibi, mengclearkan lokasi, menghancuran bukti dan menyembah kursi (kuasa).
Tak Ada Pewaris Yang Mampu Lampaui Karya Pram
Kehidupan Pram memang enigmatis, tragis dan bahkan kini dikultuskan. Mengapa? Karena keberanian Pram (sikap maupun tulisan) yang sangat menonjol, lalu karyanya dibaca dan diproduksi berulang-ulang dalam banyak media. Kutipan yang menggambarkan satu sisi kehidupan Pram dibiakkan dan dikampanyekan di mana-mana. Luar biasa!
Ia terus hebat karena terus melawan dan menulis. “Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari” (dalam Anak Semua Bangsa) menjelaskan pilihan hidupnya. Karya yang kini tak banyak pewarisnya mampu lampaui. Takdir kini memang kita kemarau karya dunia. Selebihnya, kita hanya banjir pecundang, pembohong dan penipu yang tak jemu-jemu.
Memang, kebohongan itu menular dan ditularkan. Ia penyakit ganas yang sulit disembuhkan. Terlebih itu dari pusatnya pusat kekuasaan. Para pembohong akan kawin dengan para pembual untuk memprodukdi generasi super pembual bin pembohong bin penipu di segala waktu.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono