Peradaban kita hari ini sedang menghadapi empat persoalan genting. Pertama. Fundamentalisme pemerintahan. Kedua. Terorisme ekonomi. Ketiga. Fasisme keluarga. Keempat. Rentetan bencana alam.
Keempatanya menggerogoti ketahanan nasional sekaligus menghancurkan kepentingan nasional. Tentu saja kepentingan utama kita dalam bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pengertian Empat Persoalan Genting
Dari keempat persoalan genting tersebut, fundamentalisme pemerintahan berarti usaha korupsi secara massif, terstruktur dan integratif dengan menggunakan kekuasaan negara. Polri, kejaksaan, kehakiman dan TNI bukan hanya tak berdaya tetapi ikut menopangnya. Berbondong-bondong aparatus pemerintah, mulai dari menteri, gubernur, bupati/walikota menjadi pasien KPK menjadi bukti nyata.
Terorisme ekonomi adalah logika mengeruk keuntungan dengan menggunakan segala cara dan kuasa. Mereka melipatgandakan kapital dengan cara-cara super jahat sampai rakyat kebanyakan tak bisa meraba.
Dengan uang, mereka selalu memproteksi kepentingan dan modalnya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berindikasi anti-rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi salah-satu cita-cita utama berdirinya negara ini dapat dengan mudah digerus oleh mereka melalui hegemoni di segala bidang.
Fasisme keluarga adalah usaha memiliki partai politik sebagai milik pribadi. Partai yang seharusnya milik publik berubah menjadi milik keluarga tertentu dan kawan-kawannya saja. Sebagai buktinya, berbondong-bondong anggota keluarga Ketum Parpol menjadi pengurus dan caleg.
Bencana alam adalah peristiwa kehancuran ekosistem akibat perubahan alami karena banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, hurikan, badai tropis, taifun, tornado, kebakaran liar, dan wabah penyakit.
Cara Mengatasinya
Untuk mengatasi keempat persoalan genting tersebut, dibutuhkan ilmu yang bisa mengerem dan menjinakannya. Ilmu itu bisa datang atas nama: “teori konsensus, vulcanology, teori hibrida maupun praksis trikameralisme.”
Tetapi keempat ilmu yang bisa mengerem dan menjinakan tersebut, hanya bisa hadir dari nalar jenius, otak besar dan mental merdeka. Sebab, otak kecil tak mungkin mampu. Terlebih, otak kecil ini sejenis kutukan dirgantara. Ini semacam takdir manusia Nusantara. Ini secarik kisah penghuni Atlantik. Mereka pada umumnya memiliki volume otak yang kecil. Apalagi dibandingkan dengan volume otak para penjajah.
Otak yang volume kecil ini berakibat pada kesukaan ngerumpi yang remeh temeh dan ecek-ecek, tak suka cari solusi dari masalah yang dihadapi dan fundamentalis bin teroris.
Lebih parah lagi saat mereka berkuasa. Mereka lupa dan tak tahu fungsinya. Mereka lapar. Mereka dahaga. Tak tahu malu dan kolu. Tetapi, mau bagaimana. Tokh ini kita sedang alami dan lewati. So, jika kita gagal menemukan agensi bervolume otak besar, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah “kutukan negara postkolonial.”(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono