Transmigrasi merupakan salah satu bentuk rekayasa demografis. Rekayasa demografis atau “demographic engineering” adalah sebuah kebijakan pemerintah mengubah konfigurasi demografis untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi maupun politik.
Berdasarkan telusuran literatur, rekayasa demografis mulai diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 ketika 155 keluarga dipindahkan dari Bagelen, Kedu (Jawa Tengah) ke Gedong Tataan di Lampung. Kebijakan pemindahan penduduk ini disebut sebagai kebijakan emigrasi atau kolonisasi.
Dari tahun 1905 hingga tahun 1930, jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dari Jawa ke Lampung sesungguhnya tidak banyak – hanya sekitar 30 ribu jiwa. Selain ke Lampung pemerintah kolonial Belanda juga mulai memindahkan penduduk dari Jawa ke Kalimantan Selatan dan Sulawesi. Pengiriman buruh untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan juga dilakukan terutama ke Sumatera Utara, juga ke luar Hindia Belanda seperti ke Suriname, Kaledonia Baru dan Vietnam. Sampai tahun 1940 pemerintah kolonial Belanda berhasil meningkatkan jumlah penduduk yang dipindahkan per-tahunnya dari 14.700 pada tahun 1935 menjadi 52.800 pada tahun 1940, (Nitisastro, 1970).
Tujuan Transmigrasi
Pemindahan penduduk ini terbukti tidak saja bertujuan untuk mengatasi masalah demografi dan ekonomi, tetapi justru yang lebih mendesak adalah untuk mengurangi potensi keresahan para petani Jawa – yang di berbagai tempat sudah memperlihatkan perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial Belanda. Rekayasa demografis dengan demikian merupakan kebijakan yang sejak awal memiliki tujuan yang bersifat politis, bahkan ideologis, untuk menciptakan sebuah masyarakat yang baru.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, adalah Mohamad Hatta (1954) yang berpendapat bahwa kebijakan pemindahan penduduk harus diteruskan. Hatta yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Panitia Siasat Ekonomi, mengajukan pemikiran bahwa program pemindahan penduduk harus dilakukan dengan paradigma yang baru, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Menurut paradigma baru yang ditawarkan oleh Hatta ini, pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa harus dikaitkan dengan program industrialisasi. Bagi Hatta tidak ada gunanya memindahkan petani menjadi petani lagi. Program kolonisasi atau emigratie yang sejak kemerdekaan diubah namanya menjadi program transmigrasi, dalam paradigma baru yang digagas Hatta harus keluar dari paradigma lama yang dasarnya adalah politik rekayasa demografis. Hatta tidak lagi berpikir pemindahan penduduk sekedar untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa tetapi sudah secara visioner memandang pemindahan penduduk sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari industrialisasi di luar Jawa.
Hanya saja dalam pelaksanaannya, pandangan visioner dan paradigma baru yang digagas Hatta tidak pernah menjadi kenyataan. Praktik pemindahan penduduk tetap dilakukan dengan pola lama, petani dipindah menjadi petani, sebagaimana dalam paradigma pemerintah kolonial Belanda.
Beda Emigrasi dan Transmigrasi
Seorang sosiolog Belanda Wertheim (1959), yang pernah melakukan penelitian di Lampung, memberikan penilaian yang menarik tentang perbedaan antara program emigrasi (kolonisasi) yang dilakukan Belanda dengan program transmigrasi yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Ia mengatakan sebagai berikut. Before the war Dutch resettlement policy was directed towards the creation of typical Javanese enclaves in a purely Sumatran environment. As the willingness to move to ‘the land beyond’ had not yet developed very greatly at that time, the Dutch tried to make the settlements attractive, by reshaping conditions as nearly as possible to resemble those in the homeland… After independence, the Indonesian government adopted a different view. The strict separation of Javanese and Lampongers was deemed out of date, as a relic of colonial policy. Such a system would not fit into the new ideology of Indonesia as a unitary state. Javanese and Sumatrans were equally Indonesians, who had to live together and mix on an equal footing. Both population groups would have to develop into modern Indonesians, and work together in building a new society in the melting pot of Sumatra, the Land of Promise. ‘Sebelum perang kebijakan pemukiman kembali Belanda diarahkan pada penciptaan kantong-kantong khas Jawa di lingkungan Sumatera murni. Karena kemauan untuk pindah ke ‘negeri seberang’ belum berkembang sangat pesat pada waktu itu, Belanda berusaha membuat pemukiman-pemukiman itu menarik, dengan membentuk kembali kondisi-kondisi yang semirip mungkin dengan yang ada di tanah air… Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengambil pandangan yang berbeda. Pemisahan ketat orang Jawa dan orang Lampung dianggap ketinggalan zaman, sebagai peninggalan politik kolonial. Sistem seperti itu tidak akan cocok dengan ideologi baru Indonesia sebagai negara kesatuan. Orang Jawa dan Sumatra sama-sama orang Indonesia, yang harus hidup bersama dan berbaur dalam pijakan yang sama. Kedua kelompok penduduk itu harus berkembang menjadi orang Indonesia modern, dan bekerja sama dalam membangun masyarakat baru di peleburan Sumatera, Tanah Perjanjian.’
Menurut pengamatan Wertheim tersebut, maka dapat dikatakan ada perbedaan visi antara emigrasi dan transmigrasi. Jika pada masa lalu, pemerintah kolonial Belanda membuat pemisahan antara transmigran dan penduduk setempat, maka pada saat ini pemerintah Indonesia justru ingin mempersatukan transmigran dan penduduk setempat – karena dianggap sama-sama warga negara Indonesia. Karena itu dapat dikatakan jika tujuan transmigrasi, sebagaimana dikemukakan Wertheim, memiliki tujuan yang bersifat ideologis sebagai upaya menciptakan keindonesiaan dalam kerangka sebuah Negara Kesatuan. Pada titik inilah kita bisa melihat bagaimana arti dan tujuan akhir dari transmigrasi adalah menciptakan integrasi nasional dari masyarakat Indonesia yang satu.*
Catatan:
Disarikan dan disosialisasikan kembali dari tulisan Riwanto Tirtosudarmo, Dari Kolonisasi menjadi Negara Bangsa: Demografi-Politik Patriotisme sebagai Nilai Keindonesiaan. Makalah disampaikan pada Acara DPS Seri 4, Sabtu 7 November 2015 Tema : Sejarah Peradaban Dan Pancasila, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jalarta.
Editor: Irawan