IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Saat Ini Hanya Hadirkan Permanent Underclass

Ada 4 tujuan negara yan dimiliki Indonesia. Pertama. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua. Memajukan kesejahteraan umum. Ketiga. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan negara sebagai visi negara Indonesia tersebut diperkuat dengan nilai-nilai yang harus diikuti, salah satunya adalah Pasal 34 UUD 1945. Pada pasal tersebut, disebutkan bahwa: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Isi Pasal 34 UUD 1945 tersebut merupakan isi pasal Sebelum Amandemen. Setelah Amandemen, isi Pasal 34 UUD 1945 berbunyi: Pertama. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Kedua. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ketiga. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Keempat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Bukan Mengurang Kemiskinan Namun Mengurangi Standar Kemiskinan

Baik pasal 34 UUD 1945 sebelum dan setelah Amandemen, mewajibkan negara menanggulangi kemiskinan dan memelihara serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Sayangnya pada amanat dasar ini, negara belum mampu melaksanakannya.  Pemerintah selama ini ternyata belum beorientasi pada pengurangan angka kemiskinan, namun malah berorientasi pada pengurangan standar garis kemiskinan.

Hal ini dapat dilihat dari berbedanya garis kemiskinan sebagaimana yang standarkan Bank Dunia. Garis kemiskinan Bank Dunia adalah sebesar USD 1,9 per hari, atau setara Rp 775.200 per bulan bila mengacu pada kurs 13.600 tahun 2018. Karena per 6/6/2021, kurs naik menjadi sebesar 14.245,75, maka garis kemiskinan tentu akan mengikuti.  Sementara itu menurut BPS tahun 2018, garis kemiskinan menggunakan angka sebesar Rp 387.160 per kapita per bulan.

Dengan penurunan standar garis kemiskinan yang berimbas pada pengurangan angka kemiskinan yang ada, maka sesungguhnya apa yang dilakukan tersebut, hanya bersifat semu. Karena sesungguhnya pada realitasnya, upaya tersebut sesungguhnya tidak untuk mengurangi angka kemiskinan yang ada. Semua itu hanya untuk membuat citra pemerintah hasil pemilu mampu dipandang menekan atau mengurangi laju kemiskinan bangsa.

Penanggulangan Kemiskinan Seharusnya Tidak Bersifat Charitas

Ketidakberhasilan pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi, kemudian membuat hadir apa yang disebut “charitas” (sedekah) dari perusahaan negara atau swasta. Mereka berlomba menghadirkan program pemberdayaan masyarakat dengan program PKBL dan CSRnya. Termasuk tentu saja kebijakan BLT oleh negara.

Apa yang dilakukan negara, perusahaan negara atau swasta tersebut tentu saja sangat baik, namun sesungguhnya kurang tepat. Menurut Pendiri Centre for Agriculture and People Support H.S. Dillon, penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif apabila dipandang dan dijalankan semata-mata sebagai “charitas” (sedekah). Pendekatan ini malahan akan menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan. Sayangnya sebagian besar upaya yang dilakukan selama ini mempunyai sifat sedemikian. Karena itu H.S. Dillon berpendapat bahwa agar lebih efektif, penanggulangan kemiskinan harus difokuskan pada pembangunan kapasitas, supaya warga miskin membangun kemampuannya untuk menaiki tangga keluar dari kemiskinan. Dengan demikian mereka akan mulai mengakumulasi asset, yang kemudian akan memberikan mereka “voice”, dan selanjutnya mereka akan mempunyai “access” terhadap berbagai peluang yang tercipta untuk memperoleh “income” yang layak.

H.S. Dillon juga melihat jika sejumlah kebijakan negara selama ini baik pada tingkat makro maupun mikro belum berpihak kepada warga miskin. Hal ini menyebabkan warga miskin terhalang untuk meraih “capital formation” sehingga cenderung tercipta “permanent underclass” seperti Papua dan Betawi.

Penanggulangan kemiskinan menurutnya kembali, semakin dipersulit oleh adanya perubahan iklim global (climate change) sehingga merubah pola iklim mikro secara drastis (musim ektrim), akibatnya para petani/nelayan yang sebagian besar merupakan warga miskin sangat sulit merancang kegiatan mereka. Hal ini selanjutnya mengakibatkan fluktuasi pendapatan yang sangat besar karena gagal panen/tangkap. Menghadapi perubahan iklim global ini, para petani seharusnya kembali ke “basics” dalam melakukan kegiatan usaha tani mereka.

Menurut H.S. Dillon pula, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa faktor yang diyakini sebagai penggerak pertumbuhan selama ini yaitu teknologi, globalisasi, dan pembaruan pro pasar (pro market reform), sekarang ini justru merupakan faktor yang memperparah kesenjangan. Oleh karena itu, H.S. Dillon kemudian berpendapat bila pada saat ini diperlukan transformasi ke paradigma ‘People-driven Development’, yang dibumikan melalui ‘Private-Public-People Partnerships’, agar kemiskinan dapat diminimalisir serta tujuan berbangsa dan bernegara yaitu keadilan sosial bagi setiap warga bangsa, dapat terwujud.

Perlu Upaya Terstruktur

Apa yang dikemukakan oleh H.S. Dillon di atas tentu saja sangat tepat. Permanent underclass misalnya, tentu tidak dapat diperbaiki dengan sebanyak apapun charitas yang diberikan. Di sini peran pemerintah sesuai konstitusilah yang mampu menghapus terciptanya permanent underclass tersebut.

Karena itu pemerintah perlu melakukan upaya terstruktur dan massif terkait pelaksanaan konstitusi terutama mengenai penanggulangan kemiskinan. Seperti misalnya, pemerintah perlu menjebatani agar penggerak pertumbuhan yaitu teknologi, globalisasi, dan pembaruan pro pasar (pro market reform), untuk tidak menjadi faktor yang memperparah kesenjangan. Pemerintah dapat memulainya dengan misalnya memperkuat pendidikan, membuka akses pasar, mengendalikan impor, dan memberi kemudahan bagi pembiayaan usaha produktif dan dengan bunga sangat rendah serta memperbaiki upah kerja dan menghadirkan lapangan pekerjaan secara nasional.

Semua itu sesungguhnya dapat dengan mudah dilakukan pemerintah, karena pemerintah memiliki kekuasaan dan legitimasi untuk melakukan hal tersebut.*

 

 

Catatan:

Diedit dan disosialisasikan kembali dari makalah H.S. Dillon Pendiri, Centre for Agriculture and People Support, Nilai-Nilai Budaya Yang Menggerakkan Penanggulangan Kemiskinan, disampaikan dalam Diskusi Panel Serial Membangun Budaya Bangsa dan Nilai Keindonesiaan Demi Masa Depan Bangsa diselenggarakan oleh Yayasan Suluh Nusantara Bakti di Hotel Sultan, Jakarta, 4 Juni 2016.

 

Editor: Irawan

Bagikan ya

Leave a Reply