IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Cara Menempatkan Nasionalisme Di Tengah Globalisasi, Wawancara Eksklusif Dengan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Pontjo Sutowo

Proses globalisasi tidak bisa dibendung oleh negara manapun. Termasuk di Indonesia. Sebagai akibatnya dalam sisi budaya misalnya, generasi muda lebih mengenal budaya lain dari budaya sendiri. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat didirikannya negara ini oleh para Bapak Pendiri Bangsa. Karena itu masih diperlukankah nasionalisme itu pada saat ini di tengah era globalisasi yang ada?

Pertanyaan yang krusial tersebut, tentu sangat mendesak untuk segera mendapat jawaban. Karena itu, Redaksi suluhnuswantarabakti.or.id menghadirkan seorang pakar yang aktif bergerak dalam kebudayaan agar mampu menjelaskan permasalahan yang ada. Dan ia adalah bapak Pontjo Sutowo, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti. Sebuah yayasan yang aktif menyelenggarakan Diskusi Panel Serial terkait budaya. Wawancara yang kami ambil ini, dilaksanakan kantor beliau di Jakarta kala awal pandemi. Berikut petikannya.

Pak Pontjo, menurut bapak masih diperlukankah nasionalisme itu pada saat ini di tengah era globalisasi yang ada?

Ada hal-hal yang perlu kita diketahui terlebih dahulu mengenai nasionalisme dan globalisasi. 

Pertama, Nasionalisme.  Bagi bangsa Indonesia, nasionalisme sesungguhnya tidak hanya bisa diartikan sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, sebagaimana pengertian menurut KBBI semata. Nasionalisme bagi bangsa Indonesia adalah alat pemersatu masyarakat etnis yang berjumlah lebih dari 1000 etnisitas dengan agama yang berbeda untuk bersama menghadirkan kepentingan sama yaitu membangun sebuah bangsa dan negara yang memiliki 4 tujuan dengan dasar Pancasila. Sebagai alat pemersatu masyarakat etnis yang ada di Indonesia guna menghadirkan kepentingan sama, maka nasionalisme menjadi hal terpenting bagi keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia. Tanpa nasionalisme, maka ikatan guna menghadirkan kepentingan sama yaitu membangun sebuah bangsa dan negara yang merdeka dengan memiliki 4 tujuan negara sesuai UUD 1945 dengan dasar Pancasila, akan menjadi hilang. Sebagai akibatnya, Indonesia akan kembali seperti pada masa Hindia Belanda yang hanya merupakan kumpulan masyarakat etnis yang muaranya akan dengan mudah di adu domba atau ditaklukkan oleh bangsa lain.  

Dengan demikian keberadaan nasionalisme tidak serta merta selesai selepas perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan berhasil. Ia tetap harus ada  dalam era ke depan guna menghadapi  ancaman dan bahaya atas kemerdekaan yang telah diraih, dan juga harus tetap ada guna mewujudkan 4 tujuan negara sesuai UUD 1945 dengan dasar Pancasila sebagaimana yang dicita-citakan.

Bagaimana dengan Globalisasi?

Baik. Kedua, Globalisasi. Menurut Ichlasul Amal, globalisasi merupakan proses munculnya masyarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik, dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga-lembaga politik dunia. Globalisasi terbentuk karena adanya kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi yang mendorong adanya saling ketergantungan (interdependensi) terutama pada aktivitas ekonomi dan budaya.

Sekalipun globalisasi mendorong adanya saling ketergantungan terutama pada aktivitas ekonomi dan budaya, namun globalisasi pada dasarnya lebih merupakan bentuk hegemoni masyarakat yang memiliki teknologi dan ekonomi modern kepada masyarakat yang belum memiliki teknologi dan ekonomi modern. Hal ini karena sesungguhnya pelaku utama globalisasi adalah Trans-National Corportion (TNC), Trans/Multi National Corporation (TNC/MNC), dan IMF.

Globalisasi sendiri sesungguhnya juga terlalu jauh untuk membawa kepentingan dari masyarakat hukum adat dan masyarakat etnis yang menjadi pilar-pilar bangsa Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga saat ini juga hanya mengakui negara bangsa menjadi organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang melaksanakan tata tertib atas orang-orang di daerah tertentu.

Bila demikian, sejauh mana nasionalisme tersebut harus ditempatkan?

Nasionalisme harus ditempatkan guna menghadirkan apa yang disebut Presiden Soekarno dengan istilah Trisakti. Yaitu: berdaulat di bidang politik, berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Intinya nasionalisme harus ditempatkan untuk menghadirkan kemandirian untuk kepentingan bersama dalam sebuah negara bangsa. 

Jika demikian apakah nasionalisme dan globalisasi tidak bisa berjalan beriringan?

Tidak demikian. Globalisasi dan nasionalisme akan selalu beriringan. Sebab globalisasi tidak bisa dihindari. Ia seperti air hujan yang jatuh ke bumi. Nasionalisme seperti rumah yang mampu melindungi diri dari air hujan tersebut agar kita tidak lantas mudah sakit. Hal ini karena air hujan sesungguhnya juga memiliki fungsi banyak kebaikan untuk kita. Hanya saja ia harus difungsikan ke tempat yang tepat, sambil kita memiliki tempat berlindung diri yaitu nasionalisme untuk menghindari dari pengaruh-pengaruh buruk yang dapat ditimbulkannya.

Bagaimana cara membangun kembali nasionalisme pada saat ini, yang dapat dikatakan telah memudar dari hadirnya budaya materialistik yang melanda bangsa?

Nasionalisme itu pada dasarnya bukan sesuatu yang given atau pemberian. Karena bukan given, maka ia harus selalu dijaga dan dirawat agar dapat terus tumbuh dengan baik. Tanpa itu maka ia juga dapat hilang. Bila hilang, maka ikatan kebersamaan sebagai sebuah bangsa akan hilang. Sebagai akibatnya, hanya akan hadir sebuah etnisitas kecil yang tentu mudah dikalahkan.

Salah satu cara dalam merawat nasionalisme adalah dengan melalui pendidikan. Baik itu dengan pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Namun di samping itu, ada upaya lain yang tidak kalah utama yaitu keteladanan dalam menghadirkan nasionalisme dalam proses keseharian dan proses kenegaraan.

Dari hadirnya Omnibus Law yang ditengarai menguntungkan investor, bagaimana cara menghadirkan nasionalisme dalam hukum dan perundangan sehingga keduanya dapat lebih melindungi masyarakat?

Nasionalisme sudah saatnya menjadi sarana penilaian kebijakan atas hukum dan perundangan yang ada di Indonesia. Dengan demikian nasionalisme sifatnya tidak lagi berbentuk konsepsi namun sudah merupakan tindakan nyata. Nasionalisme di sini adalah bentuk nyata menghadirkan konstitusi dan Pancasila atas hukum dan perundangan. Di sini nasionalisme ditempatkan menjadi alat ukur. Sebagai alat ukur tersebut, maka harus ada evaluasi berkala atas hukum dan perundangan berdasar nasionalisme tersebut.       

Inti dari nasionalisme pada dasarnya adalah merawat dan mengedepankan kemandirian dan kepentingan nasional.  Pada saat ini, bagaimana caranya agar hal tersebut dapat hadir dalam pola pikir dan tindakan pemerintah dan para elite yang memiliki peran dalam membuat kebijakan?

Sebenarnya sangat mudah. Harus ada mekanisme punishment secara jelas dan tegas bagi pelanggarnya. Bila hal ini belum dapat dilakukan karena banyak hal, ia sesunggungnya dapat menjadi sarana penilaian bagi KPU untuk hanya menerima partai dan calon yang tidak melanggar nasionalisme saat mereka mendapat kesempatan berkuasa selama 5 tahun. Tolak ukurnya mudah. Bila ada catatan kebijakan yang dibuat tidak berlandaskan nasionalisme dan adanya kegagalan karena salah kelola, maka partai dan calon yang ada, tidak berhak mengikuti pemilu.

Terima kasih pak Pontjo.

Para sahabat semua, sangat menarik tentu saja uraian Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti tersebut. Ada banyak masukan inspiratif yang perlu generasi muda ketahui di sini.  Masukan yang memperjelas kepada kita bahwa nasionalisme dapat berjalan beriringan dengan globalisasi. Nasionalisme adalah rumah yang harus ada agar kita dapat meraih manfaat maupun pelindung diri dari globalisasi. Semoga bermanfaat.*

 

Penulis: Irawan

Editor: Irawan

Bagikan ya

Leave a Reply