Di manapun kalian berada, kematian akan datang, kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS/An Nisa’:78). Tetapi kini, tanpa dicabut nyawanya, yang muda dan mahasiswa sudah mati. Jauh sebelum mati sungguhan. Sebab, saat negara genting, kalian absen. Demo semenit. Teriak sehari. Bakar ban seminggu. Padahal rezim makin subur.
Saat ummat membutuhkan, kalian mangkir. Makar di medsos. Marah di media. Gerah di koran. Saat penjajah makin sadis, kalian lelap tertidur. KKN makin menggila. Di mana-mana yang dipelopori istana.
Bukankah itu kematian tertragis bagi makhluk hidup ketika eksistensinya tak ada? Bukankah itu kehidupan yang mubazir yang tak layak dirayakan?
Tidak Ada Sejarah Kaum Tua Di Republik
Sesungguhnya, di masa lalu tak ada sejarah kaum tua di republik ini. Tak ada investasi kaum tua di Indonesia. Jikalau republik tak menuntaskan janji Proklamasi, pastilah karena peran kaum tua yang over dosis. Kaum tua berbaju baru dan kaum muda bermental tua. Inilah biang kerok kehancuran bangsa. Karena itu, jika kalian ingin tahu jantung Indonesia, bacalah sejarah kaum muda.
Dan, di antara kaum muda Indonesia yang bintangnya menyinari persada adalah Chairil Anwar. Ia bukan hanya muda tetapi juga memberontak dan mati (muda). Ia menginspirasi. Ia memotivasi.
Sejarah mencatat bahwa semua karyanya yang asli, modifikasi dan terjemahan dikompilasi dalam tiga buku: Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Semua karyanya berjumlah 94 yang ditemukan. Semuanya menghentak, memberontak dan menginspirasi.
Chairil adalah pejuang muda dan penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia Indonesia meraih kemerdekaan. Sebab merdeka menjadi prasyarat bagi kemandirian, kemodernan dan kemartabatifan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948). Sajak berjudul, “Persetujuan dengan Bung Karno” adalah refleksi dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” menguatkannya sebagai sajak perjuangan. Sajak yang mengiringi revolusi, makar dan pemberontakan. Kalimat: “Aku binatang jalang” dalam sajak Aku, adalah dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka, mandiri, modern dan martabatif.
Tanpa Kaum Tua Justru Hadir Indonesia Raya
Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Ia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia.
Sebagai Indonesia muda, ia meninggal dalam usia muda (26 tahun) karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Tanggal meninggalnya (28/4/49) diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia: Hari Revolusi Kaum Muda.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau tidak tamat. Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Ia pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana sambil mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kita lihat, selama 26 tahun jiwa dan pikirannya hanya untuk Indonesia. Sebab ia mati dalam keadaan miskin kapital. Tidak seperti kaum tua kita yang mati bengkak perut dan bengkak rekening hasil korupsi di mana-mana.
So, wahai kaum muda, rebut kembali negara dari para penelikung konstitusi. Rebut kuasa dan sinergikan semangat Chairil dalam diri kalian. Singkirkan kaum tua, kolaborator asing dan aseng. Sebab tesisnya, tanpa kaum muda, tak ada Indonesia. Tanpa kaum tua, justru Indonesia Raya.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono