IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Buku Penangkal Senjakala Kehidupan Indonesia

Saya meresensi buku keren ini karena dua hal. Pertama, setelah reformasi dan amandemen konstitusi, hidup rakyat makin tidak berguna. Hidup mereka makin kehilangan cita-cita. Hidup mati dalam kepedihan karena hanya bisa merasakan hal-hal yang ditertawakan umat manusia: saat ketimpangan makin merajalela.

Kedua, dengan konstitusi yang telah berganti, cita-cita besar masa depan negara ini hilang. Semua berubah menjadi pasar dan hutan. Di pasar, keadilan tunduk pada uang. Di hutan, kesejahteraan tunduk pada oligarki. Uang dan oligarki itulah kini “rule” kita dalam berbangsa dan bernegara.

Indonesia Telah Menuju Senjakala Kehidupan

Kejadian itu menurut John Rawls (1921-2002) adalah “senjakala kehidupan” sebab hukum yang tak menciptakan keadilan bukanlah hukum. Begitupula penegak hukum yang tak mentradisikan keadilan adalah monster jahat untuk ummat.

Mengapa begitu? Sebab bagi John Rawls, “keadilan merupakan kesetaraan dalam ketidaksetaraan.” Keadilan dalam kesetaraan maksudnya terdapat kebebasan (liberty) dan hak politik dasar yang sama bagi setiap manusia tanpa memandang kelebihan atau kekurang yang dimiliki, di mana kebebasan (liberty) dan hak politik di sini tidak boleh dikurangi atau dikompensasikan dengan yang lain.

Sedangkan keadilan dalam ketidaksetaraan maksudnya terhadap individu tersebut berada pada posisi yang tidak beruntung akan mendapatkan keuntungan (benefit) yang lebih dari pada mereka yang beruntung. Ketidaksetaraan ini kemudian bukan berarti ketidaksetaraan dalam kesempatan (opportunity) karena akses terhadap posisi atau jabatan otoritas tersebut terbuka bagi semua.

Harus diakui, obsesi elite bangsa dan negara ini pada kehidupan sentosa bersama (via gotong royong) dan iptek sudah hilang berganti dengan obsesi kekuasaan via gotong-nyolong. Suburnya KKN dan feodalisme itu bukti tak terbantahkan. Madzab marhenis dan tradisionalis kini punya kuasa yang besar tapi tak berarti apa-apa bagi tumbuhnya gotong-royong dan iptek. Mereka tetep miskin dan tak mencerahkan.

Buku ini berjudul “Untaian Butir-butir Mutiata: Konstitusi Indonesia,” ditulis oleh salah satu pemikir dari militer yang terkemuka, Prijanto. Beliau pernah menjadi wakil gubernur DKI Jakarta dan telah menulis beberapa buku keren. Buku ini terbit tahun 2022, tebal halaman 240, berukuran 24 x 16 cm dengan berat (grm) 650.

Solusi: Dihadirkannya Dekrit Presiden yang Terkordinasi

Buku ini hadir saat yang tepat. Dan, ini soal serius. Bahkan sangat serius. Bahwa negara maju dan hebat adalah negara kita, Indonesia. Negara yang dipimpin oleh presiden yang kemampuannya membiarkan ojek merajalela; utang negara menggunung; membiarkan orang sakit mati pelan-pelan, serta menikmati konstitusi palsu.

Kini memang ajal warga negara makin tak berharga. Orang miskin dilarang sakit. Orang sakit mati saja. Orang mati mudik ngojek. Orang ngojek ruwet di jalan raya. Orang ruwet berkuasa di istana negara.

Kita tahu. Saat ajal kita tiba, cantik dan buruk; cerdas dan bodoh; berpangkat dan sudra; kaya dan miskin sama saja. Kita tidak akan membawa apa-apa ke kuburan kecuali amal baik, beberapa orang akan menangisi tetapi kemudian melupakan, karena mereka sudah dipenuhi dengan persoalan-persoalan hidupnya.

Jadi, semasa berkuasa jangan mubazirkan kekuasaan dan apa saja yang kita miliki apapun bentuknya. Walaupun, pada akhirnya sama saja. Karenanya, gunakanlah seluruh kekuasaanmu untuk membantu warga negara menikmati hidupnya, mengisi kemerdekaannya agar hidup bahagia sampai waktunya selesai di dunia. Bagi yang sedang berkuasa (marhenis dan tradisionalis) lekaslah berbuat sesuai Pancasila. Bukan malah mengkhianatinya.

Ya. Sistem negara kita memang belum sempurna; punya berkali-kali pemimpin tetapi kurang berani, kurang bersih, kurang inovatif; banyak pejabat kita korup dan jorok; sementara warganegaranya kebanyakan sakit. SDA, SDM, ideologi, iptek, agama (imtaq), suku, ras, bahasa, local wisdom dan modal sosialnya makin lumpuh.

Maka, tak ada jalan lain kecuali “kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945” dengan perbaikan adendum. Caranya bagaimana? Penulis menjawab, “dengan dekrit presiden yang terkordinasikan.” Semoga ini ijtihad yang benar agar realistis dan terlaksana sehingga kerusakan negara kita tak makin parah.(*)

 

Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply