IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Tersesatnya Pendidikan Kita Kini

Zaman Kaliyuga. Tandanya, “banyak pemimpin tak punya rekam jejak dan tak punya rasa malu.” Pada zona pendidikan, hal itu terasa sekali. Tanpa punya pikiran, apalagi ucapan dan tulisan, seseorang ditempatkan jadi Mendiknas, dan tanpa rasa malu, ia bangga dan senyum-senyum di kursi itu.

Melawan Kaliyuga, penulis buku berjudul Pendidikan Yang Berkebudayaan, mencoba menerangi dengan semangat pencerahan. Buku yang ditulis Yudi Latif, pemikir terbesar abad ini, diterbitkan Gramedia setebal 452 halaman dan berat 650 gram, dengan ukuran 15X23 cm ber-ISBN 9786023571864, dicetak awal pada 05 Oktober 2020.

Pendidikan dan Kebudayaan Merupakan Proses Kreatif Yang Tak Dapat Dipisahkan

Fachry Ali mengomentari buku ini dengan menulis: “Sumbangan terbesar buku ini adalah susunan argumentasinya yang ‘kokoh’ tentang dasar kebudayaan bangsa. Yaitu frasa tentang Nusantara dan laut yang melingkunginya. Nusantara adalah file tentang ingatan kosmopolitanisme. Sementara lautan adalah sarana atau media globalisme kuno. Saya suka dengan frasa itu karena bisa meringkas (dan menyederhanakan) konsep kebudayaan dalam buku ini.

Dengan ini, Yudi ingin mengatakan bahwa kebudayaan nasional, di samping yang telah berkembang pada tingkat domestik, adalah hasil dialog dengan pihak luar—yang distrukturkan oleh corak geografis bersifat Nusantara dan dikelilingi lautan itu. Dari sini pula, Yudi mendapat perspektif meletakkan pengertian puncak-puncak kebudayaan daerah yang menjadi dasar kebudayaan nasional.”

Para pembaca yang budiman. Dalam gerak pemikiran para peletak dasar sistem sekolah kita, “pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama.” Ki Hajar, Syahri dan Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.

Karenanya, berapapun biaya digelontorkan ke pendidikan, jika program itu tercerabut dari kebudayaan pastilah muspro. Pendidikan kita akhirnya jatuh dalam lingkaran liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan komodifikasi. Puncak-puncak dari empat program madzab fundamentalis pasar adalah menunjuk pengusaha (abal-abal) menjadi Mendiknas.

Akibatnya, pendidikan nasional sudah meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikannya tidak didasari oleh budaya bangsa. Hasilnya lahir generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikannya tidak menyatu dengan kebudayaan sehingga asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Padahal, hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Pendidikan Yang Berkebudayaan Harusnya Hasilkan Aksiologi Keindonesiaan

Menurut penulis, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya adalah pendidikan budi pekerti. Pendidikan moral, etika, mental yang menghasilkan aksiologi keindonesiaan. Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara, penulis memaparkan bahwa hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan sempurna yang berguna bagi sesama dan semesta.

Dus, jantung pendidikan adalah budi pekerti. Dan, semua budi terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya: budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya. Itulah ontologinya.

Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa, pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah. Karenanya, dalam pendidikan berkebudayaan, yang dikembangkan adalah (1) olah pikir (2) olah rasa (etika, estetika, spiritualitas) (3) olah karsa (kreativitas) (4) olah raga (ketangkasan).

Memang, sejak tahun 2000an, aku melihat Pancasila dan pendidikan sebagai ideologi dan praksis yang sekarat menuju mampus. Pancasila mampus oleh romantisme: oligarki dan feodalisme. Pendidikan mampus oleh kolaborator: lokal dan internasional.

Kini yang ada hanya tinggal keluh kesah dan ratapan, dari hilangnya nyawa Pancasila yang semangat pengimannya menyala-nyala. Dari panjangnya nyawa pendidikan liberalis yang menghancurkan bangsa ini untuk hidup sepanjang masa dan berkuasa dari istana.

Selain itu juga semakin sepinya revolusi Pancasila di tengah tesis, “karena republik ini didirikan oleh ide, maka kekuatan ide juga yang akan merubahnya, meski dalam jangka panjang.” Atau  hadirnya kekuasaan yang menafsirkan republik ide dan gagasan menjadi republik senjata (Orde Baru) dan republik uang (Orde Reformasi).

Mungkinkah, hanya anak-anak bangsa cerdas dan idealis yang bisa mengembalikan ide dan gagasan menjadi mahkota republik Indonesia? Semoga. Tentu mereka yang bukan hanya sekedar oportunis apalagi kolaborator.

Memang. Senjata dan uang telah bersekutu dengan agamawan dan penegak hukum yang bertindak sebagai monster dan mafia di republik ini. Dan, itu pasti hanya akan melapukkan dan membusukkan republik Indonesia kecuali kita kembali membudayakan pendidikan serta mendidikkan kebudayaan sampai lahir revolusi Pancasila segera.(*)

 

Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono

 

Bagikan ya

Leave a Reply