Pengantar
Akibat kenaikan harga BBM sudah dipastikan akan terjadi kenaikan harga- harga barang dan jasa karena dipicu oleh meningkatnya biaya transportasi maupun biaya lainnya. Kenaikan harga barang-barang dan jasa ataupun harga-harga umum ini harus dibedakan antara yang sifatnya “kenaikan yang hanya sekali” (one time increase) atau kenaikan yang terus menerus (continuous increase). Kenaikan harga umum yang terus berlanjut untuk satu periode tertentu disebut dengan inflasi.
Kenaikan harga BBM apabila bersifat inflatoir dapat merambat melalui sisi produksi maupun sisi konsumsi. Kenaikan harga BBM berpengaruh kepada biaya transportasi maupun biaya produksi dimana BBM tersebut digunakan sebagai input dalam proses produksi. Inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi barang dan jasa biasa disebut dengan cost push inflation. Inflasi ini cenderung akan memperlemah daya beli masyarakat (purchasing power) terutama untuk kelompok masyarakat berpendapatan tetap (fixed income people). Bagi pedagang (penjual barang dan jasa) kenaikan harga ini akan dialihkan kepada konsumen agar dapat memperoleh keuntungan, walaupun masih akan ada risiko penurunan jumlah penjualan karena menurunnya daya beli konsumen. BBM dikonsumsi tidak hanya untuk transportasi tetapi juga untuk kebutuhan industri. Sehingga harga barang produksi juga terdorong naik. Singkatnya dampak akhir penyesuaian harga BBM dapat bersifat inflatoir dan akan dialihkan kepada dan dirasakan oleh konsumen. Bagi mereka yang berpendapatan menengah keatas akan masih bisa bertahan selama periode tertentu, namun bagi kelompok miskin dan rentan dampak tersebut akan terasa lebih berat karena lemahnya daya beli mereka. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimaksudkan untuk memberikan bantalan kepada kelompok miskin agar tekanan inflasi dapat dikurangi dan mereka tidak semakin terperosok dalam kemiskinan.
Subsidi BBM dikurangi dan dialihkan kepada BLT BBM dan akan diberikan untuk 4 (empat) bulan mulai bulan September 2022 sampai dengan Desember 2022. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM ini cenderung bersifat cost push dari pada demand pull inflation. Daya beli masyarakat yang menurun cenderung akan mengurangi permintaan akan barang dan jasa. Apabila penurunan permintaan bersifat massif dan luas dapat mengakibatkan penurunan permintaan agregat dalam ekonomi nasional. Dampak yang paling parah adalah terjadinya stagflasi, dimana perekonomian mengalami stagnasi namun pada saat yang sama terjadi inflasi. Beberapa negara di dunia saat ini mengalami stagflasi sebagai akibat pandemic Covid-19 dan adanya perang Russia-Ukraina yang menyebabkan krisis energi dan pangan di berbagai negara.
Pengalihan Subsidi BBM kepada Bantuan Sosial
Terhitung mulai Sabtu, 3 September 2022, pukul 14:30 pemerintah telah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM untuk merespon gejolak harga BBM di pasar dunia dan agar subsidi BBM tersebut lebih tepat sasaran. Gejolak dan ketidakpastian harga energi di pasar dunia telah mengakibatkan beban yang berat bagi APBN, padahal Sebagian besar subsidi BBM tersebut lebih banyak dinikmati oleh kelompok mampu. Lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi. Dengan adanya penyesuaian harga BBM tersebut maka ada total pengalihan subsidi sebesar Rp. 24,17 triliun untuk 3 jenis Bansos, yaitu: BLT sebesar Rp.12,4 triliun, Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp.9,6 triliun, dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp.2,17 triliun. BLT disalurkan kepada 20,65 juta keluarga pra sejahtera sebesar Rp.300.000 sebanyak dua (2) kali. BSU diberikan kepada 16 Juta pekerja dengan gaji maksimal Rp.3,5 juta per bulan dengan besaran Rp.600.000 sebanyak satu kali. Tujuan pengalihan subsidi tersebut antara lain adalah untuk: (1) Meningkatkan Daya Beli Masyarakat; (2) Mengurangi Angka Kemiskinan; dan (3) Mengurangi Tekanan Kenaikan Harga. Itulah secara garis besar kerangka pikir pengalihan subsidi BBM 2022.
Pemberian BLT BBM untuk empat bulan tersebut memang akan sangat membantu kelompok miskin karena ada bantalan untuk menahan tekanan inflasi, walaupun sifatnya hanya sementara (temporary relief), Ibaratnya BLT hanya akan mengobati rasa demam, tetapi tidak mengobati penyakit yang sebenarnya diderita. BLT hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan sebagai akibat adanya goncangan ekonomi, yang dalam hal ini tekanan harga-harga ataupun inflasi. Dilihat dari peruntukannya, BLT juga cenderung bersifat konsumtif dari pada produktif, sehingga pengalihan subsidi BBM sudah dapat diperkirakan lebih untuk membantu consumption driven economic growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pengeluaran untuk konsumsi, utamanya RT. Dalam jangka pendek memang akan membantu penguatan daya beli masyarakat miskin, namun dalam jangka panjang akan masih menjadi pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan mampu berkelanjutan (sustainable) sehingga masyarakat miskin benar- benar akan terentaskan dari kemiskinan. Dibalik kebijakan pengalihan subsidi BBM pasti ada landasan asumsinya, paling tidak dengan harapan setelah 4-6 bulan kondisi ekonomi sudah lebih membaik. Namun apabila setelah 4-6 bulan terjadi goncangan ekonomi (economic shocks) lagi, maka dapat diduga jurus BLT akan terulang lagi sebagai solusi masalah pengurangan kemiskinan dan bantalan daya beli masyarakat miskin. Sementara itu kondisi pemburukan ekonomi global masih berlangsung dan perang Russia-Ukraina belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Kebijakan bansos saat ini akan sangat tergantung kemampuan “cash flow” APBN. Oleh karena itu harus dicari cara selain kebijakan bansos bersifat konsumtif agar solusi terhadap persoalan kemiskinan tidak bersifat temporer (sesaat). Sudah saatnya dirancang “exit strategy” agar masyarakat miskin dan rentan dapat terentaskan keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Daya beli dan daya juang masyarakat miskin harus dibangun agar tidak tergantung kepada bansos, khususnya BLT.
Dalam RAPBN 2023, ada Tujuh Prioritas Nasional sejalan dengan Tema RKP 2023: “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Kebijakan Perlindungan Sosial (Perlinsos) masuk dalam prioritas ketiga “Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing”. Salah Perlinsos merupakan salah satu sasaran yang disebutkan dalam butir kedua, yaitu “Meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh pendidikan dengan mendorong peningkatan: (a) proporsi penduduk yang tercakup dalam program jaminan sosial, dan (b) proporsi rumah tangga (RT) miskin dan rentan yang memperkokoh bantuan sosial pemerintah. Rencana belanja dituangkan dalam Belanja Bantuan Sosial
melalui berbagai program, seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT)/Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berorestasi (Bidikmisi)/KIP Kuliah, dan Bantuan Iuran PBI Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Total anggaran Belanja Bantuan Sosial di 2023 direncanakan sebesar Rp. 143.565,2miliar. Program bansos tersebut terus dilanjutkan dan dengan mendorong percepatan reformasi Sistem Perlindungan Sosial melalui perbaikan data sasaran menuju registrasi sosial ekonomi (regsosek), integrarsi program Bantuan Sosial, digitalisasi Bantuan Sosial, graduasi Bantuan Sosial, dan perlindungan sosial adaptif, termasuk bagi lanjut usia dan disabilitas.[i]
Program Bantuan Sosial sering digunakan di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan dan moneter internasional tahun 1997 yang dipicu dengan anjloknya mata uang Tahiland (Baht) terhadap dollar Amerika pada awal bulan Juli 1997. Krisis ekonomi dan keuangan yang meluas di Kawasan Asia ini selanjutnya telah mengakibatkan melonjaknya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Ketika itu perekonomian nasional sempat tumbuh negatif -12,3%, begitu pula tingkat kemiskinan dan pengangguran melonjak melonjak dengan tajam. Mata uang rupiah mengalami pelemahan terhadap dollar Amerika dan sempat menembus Rp.15.000 per USD yang mengakibatkan beban utang luar negeri melonjak. Adanya krisis keuangan dan moneter 1997/1998 telah merambah ke krisis yang lebih luas dan bersifat multidimensi dan menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan (confidence crisis) dan mengakibatkan terjadinya krisis politik dengan mundurnya Presiden Suharto yang telah memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 32 tahun.
Pengalihan subsidi BBM sebesar Rp.24,17 triliun (BLT, BSU, dan DAU&DBH) yg disalurkan selama 4 bulan sampai Desember 2022, akan berlanjut dengan program tahunan melalui Bansos kepada K/L sebesar Rp. 143.565,3 miliar (Rp.143,6 triliun). Temporary remedial terhadap kemiskinan akibat kenaikan BBM (realokasi subsidi BBM kepada bansos) akan tidak berulang-ulang dilakukan kalau program tahunan dan jangka menengahnya betul-betul sesuai Temanya “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Persoalannya adalah apakah program-program prioritas lainnya seperti tertuang dalam enam (6) prioritas lainnya terkoneksi dengan baik dengan program bansos, dan bagaimana mengawalnya agar program tersebut efektif dalam pencapaian target-targetnya?
Kita semua juga faham evaluasi tidak bisa dilakukan secara sepotong-sepotong dengan hanya melihat program bansos secara khusus. Walaupun kita bisa secara umum mengkritisi apakah model yang digunakan dalam program bansos tersebut memang sudah “well design” dan terintegrasi dalam mendukung tema pokok: peningkatan produkrivitas, mendorong transformasi ekonomi, bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Program Keluarga Harapan (PKH) diberikan kepada RT sangat miskin dengan anak balita dan ibu menyusui dengan harapan dapat membangun dan membentuk pola pikir masyarakat bahwa kesehatan balita itu sangat penting, sehingga periksa rutin kesehatan bagi anak-anaknya merupakan hal yang harus dibangun sejak aaal. Program ini diharapkan dapat membentuk perilaku masyarakat sangat miskin yang jumlahnya ditargetken sebanyak 10 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat di tahun 2022. Kartu Sembako (Bantuan Pangan Non Tunai / BPNT) diberikan kepada 18,8 juta KPM. BLT Desa diberikan kepada 7,5 juta KPM. Pada garis bansos yang diberikan adalah untuk pengurangan kemiskinan ekstrim dan memberikan “penebalan” perlinsos agar mampu bertahan terhadap krisis di masa mendatang.
Dengan mencermati program-program yang ada, tidak semuanya akan berpengaruh langsung kepada peningkatan produktivitas KPM (Keluarga Penerima Manfaat). PKH lebih kepada membangun perilaku masyarakat sangat miskin (mental kultural) yang sifatnya lebih jangka panjang karena tidak serta merta dalam jangka pendek akan menghasilkan output/dampak. Kartu sembako lebih bersifat konsumtif, untuk membantu sebagai bantalan saja, begitu pula BLT. Bantuan Iuran PBI JKN sasarannya untuk memperbaiki kesehatan masyarakat miskin, hal ini pengaruhnya kepada ketahanan kesehatan masyarakat miskin yang sifat pengaruhnya tidak langsung kepada peningkatan produktivitas mereka. Hanya program Bidikmisi/KIP Kuliah yang akan berpengaruh langsung kepada kemampuan (pengetahuan dan ketrampilan), walaupun dampaknya bersifat jangka menengah keatas bagi penerima manfaat secara langsung maupun masyarakat secara luas, yaitu dalam bentuk human capital investment. Dari pengamatan umum ini dapat dilihat bahwa program bansos, khususnya BLT sifatnya adalah sebagai bantalan sementara, cenderung konsumtif, dan tidak sustainable.
Program BLT mungkin memang tepat untuk jangka pendek dan bersifat sementara saja, namun BLT tidak tepat kalau menjadi jurus yang terus menerus dalam menghadapi krisis karena memungkinkan terjadinya moral hazard ataupun adverse selection dalam pengelolaan sasarannya. Moral hazard terjadi ketika masyarakat miskin menjadi tergantung kepada BLT dan mereka menjadi terbiasa dengan tangan dibawah sehingga mengakibatkan sifat malas dan justru memperlemah etos kerja serta menjadi konsumtif. Sementara itu, adverse selection nampak dari adanya kesalahan target, bahwa yang seharusnya layak menerima BLT justru tidak menerima, dan yang seharusnya menerima BLT bahkan tidak menerimanya. Kesalahan target dalam BLT ini dapat disebabkan karena berbagai faktor, seperti: data belum dimutakhirkan (updated), kesalahan pada saat pencatatan, penduduk meninggal dunia, pindah alamat, dan faktor-faktor lainnya.
Sebagai akibatnya terjadilah BLT yang tidak tepat sasaran. Selain itu program bansos dapat menghadapi persoalan tidak tepat waktu karena berbagai kendala dalam administrasi ataupun pelaksanaan distribusi bantuan. Dengan demikian bantuan sosial termasuk BLT di satu sisi bermanfaat sebagai bantalan krisis, namun di sisi lain dihadapkan pada masalah mistargeting dan moral hazard, serta lambat laun dapat membentuk budaya “tangan dibawah lebih baik dari pada tangan di atas”. Hal seperti ini haruslah dihindari dan dicari jalan keluarnya agar masyarakat miskin dan rentan mampu membantu dirinya sendiri (prinsip self-help) dan terbangunnya sikap gotong-royong baik antar masyarakat mkiskin maupun antara yang miskin dan yang kaya. Masyarakat miskin harus diberdayakan dan diperkuat martabatnya dengan memberikan kail dan bukan memberikan ikan terus menerus.
Tujuan reformasi Perlinsos memang sudah diuraikan dalam langkah-langkah akselerasi reformasi Perlinsos, yaitu: (1). Perbaikan basis data dan target penerima program perlinsos melalui pembangunan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek); (2) penyempurnaan Perlinsos sepanjang hayat khususnya perluasan cakupan manfaat bansos bagi Lansia dan disabilitas; (3) penguatan program perlinsos yang adaptif sebagai respon atas kondisi luar biasa akibat peningkatan risiko global; dan (4) percepatan graduasi kemiskinan melalui program perlinsos berbasis pemberdayaan.[ii] Upaya yang dilakukan pemerintah ini diaharapkan dapat semakin memperkokoh daya tahan masyarakat terhadap goncangan-goncangan ekonomi di masa mendatang.
Mengingat masih banyaknya persoalan yang dihadapi dalam program perlinsos dan sifat permasalahannya yng lintas sektor, lintas wilayah, dan multi dimensi, maka keberhasilan kebijakan perlinsos atau katakanlah bansos secara umum akan sangat tergantung kepada bagaimana keberhasilan kebijakan dan program-program sektor di luar perlinsos seperti: pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, juga Revolusi Mental dan pembangunan kebudayaan, serta program-program lainnya. Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan berlaku secara umum untuk setiap warga negara. Pembangunan Pendidikan harus mampu menjadikan penduduk Indonesia menjadi warga negara yang unggul, warga negara yang cerdas, menjadi warga negara mampu berdiri sama tinggi, berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan harus mampu merubah “penduduk” menjadi “warga negara” yaitu warga negara yang faham akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Pembangunan Kesehatan harus mampu memperkokoh ketahanan kesehatan bagi seluruh rakyat, bagi bangsa Indonesia. Pembangunan infrastruktur harus mampu menjadi konektivitas persatuan dan kesatuan nasional di segala bidang, tidak hanya sekedar pembangunan fisik yang menguntungkan para pemilik modal. Pembangunan infrastruktur harus semakin memperkokoh Indonesia sebagai satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, dan menjahit dalam satu harmoni budaya berbasis keberagaman dan kebhinnekaan Indonesia. Pembangunan mental-kultural melalui revolusi mental dan pembangunan kebudayaan harus benar-benar dijaga sebagai prioritas nasional dalam memperkuat karakter bangsa berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, manusia Pancasilais yang unggul, sehingga bangsa Indonesia mampu meraih cita-cita nasional sebagai negara bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ringkasnya, reformasi sistem perlindungan sosial hatus menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan sehingga semakin memperkokoh Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, kebijakan dan program perlindungan sosial harus mampu bersinergi dengan kebijakan dan program sektoral, dan senantiasa dijaga keberlanjutannya melalui “political will” sehingga graduasi masyarakat miskin dan rentan akan terwujud. Kebijakan dan program perlinsos khususnya penanggulangan kemiskinan juga harus dievaluasi secara reguler untuk menjaga agar tetap inklusif dan melibatkan partisipasi rakyat demi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan justru tidak semakin memperkuat dominasi oligarkhi (para pemilik modal) di Indonesia.
Reformasi Sistem Perlindungan Sosial selain ditujukan untuk memperkuat bantalan ekonomi bila terjadi krisis (sebagai shocks absorber), juga sebagai akselerator (percepatan) Penghapusan Kemiskinan Ekstreem. Bank Dunia mendefinisikan kondisi kemiskinan ekstreem sebagai kondisi dimana seseorang hidup di bawah garis kemiskinan ekstreem setara USD1,9 per hari atau di bawah sekitar Rp.345.000/kapita/hari. Berdasarkan data BPS tingkat kemiskinan ekstreem Maret 2021 adalah sebesar 4% atau 10,86 juta jiwa. Inpres No.4 Tahun 2022 mentargetkan nol persen kemiskinan ekstreem di tahun 2024. Tahun 2021 dijalankan pilot project dengan menambahkan Kartu Sembako dan BLT Desa di 35 daerah Kab/Kota di 7 Provinsi dengan kantong kemiskinan tertinggi. Tahun 2022 diperluas menjadi 212 wilayah dan akan mencakup 514 Kabupaten/Kota di tahun 2023. Program terdiri atas program bansos dan pemberdayaan. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2023 disebutkan bahwa exit strategy (mekanisme graduasi pengentasan kemiskinan) disinergikan dengan program pemberdayaan (target masyarakat miskin dan rentan) yang antara lain meliputi: akses terhadap permodalan, akses pasar tenaga kerja. Diharapkan ada sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemda, swasta, ataupun filantropi lainnya.
Menurut data BPS yang diambil dari Susenas, rata-rata penurunan tingkat kemiskinan sejak 2014-2017 dibawah 1% atau bahkan di bawah 0,5%. Sedangkan tingkat kemiskinan sejak Maret 2017 (10,64%) sampai Maret 2021 (10,14%) dan September 2021 (9,71%) telah menurun di bawah 1%, sehingga selama 4 tahun hanya terjadi penurunan rata-rata dibawah 0,25%.[iii] Dengan catatan sempat mengalami kenaikan di tahun 2020 akibat terjadinya pandemi COVID-19.
Inpres No.4 tahun 2022 mentargetkan zero percent extreme poverty di 2024, sementara sasaran tingkat kemiskinan di 2022 dan 2023 adalah masing-masing 8,5- 9,0% dan 7,5-8,5. Kalau extreme poverty di Maret 2021 sebesar 4% dan di 2024 ditargetkan menjadi nol% maka dalam waktu 3 tahun sejak 2021 tingkat kemiskinan ekstreem harus bisa diturunkan dengan rata-rata di atas 1% per tahun. Dari pengalaman terlihat bahwa penurunan tingkat kemiskinan belum pernah mencapai 1% per tahun (bahkan rata-rata penurunannya di bawah 0,5%). Catatan angka ini menuntut adanya kerja “superkeras” para penyelenggara negara dan tidak bekerja secara “business as usual” agar target Inpres No.4 tahun 2022 dapat tercapai.
Kondisi ini menuntut nilai-nilai strategis instrumental revolusi mental (NSIRM),[iv] yaitu integritas, etos kerja, dan gotong-royong, benar-benar sudah menyatu dan menjiwai para penyelenggara negara, terutama birokrasi baik di pusat maupun di daerah. Apalagi tahun 2021 program akselerasi pengurangan kemiskinan baru bersifat “pilot project” dan diperlukan di 514 Kabupaten/Kota di 2023. Sementara kita tahu bahwa pengelolaan program/proyek yang bersifat uji coba (piloting) dengan proyek yang diperluas dalam skala yang massif adalah hal yang jauh berbeda. It is entirely a different ball game. Apalagi kalau disadari bahwa Bansos (khususnya model BLT) hanya bersifat shock absorber dan temporary, sehingga cenderung akan diulang kembali sebagai jurus yang digunakan dalam merespon krisis ekonomi, jurus yang sifatnya cenderung tidak sustainable.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam rangka semakin memperbaiki dan menyempurnakan Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstreem, perlu direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, system perlindungan sosial termasuk program penanggulangan kemiskinan yang lebih sustainable harus dibangun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (penta helix plus), serta mensinergikan kebijakan dan program perlinsos dengan kebijakan dan program sector. Gotong-royong dilakukan dengan melibatkan birokrasi (pusat dan daerah), dunia pendidikan, komunitas agama, organisasi sosial kemasyarakatan, para filantrofi, masyarakat adat, dunia usaha, dan masyarakat luas. Harus ada political will dari lembaga-lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif untuk menjaga agar: tidak terjadi kebocoran- kebocoran ataupun aktivitas pemburu rente ataupun malpraktek pembangunan; ada pengawalan mulai perencanaan dan penganggaran sampai pelaksanaan kebijakan dan program; serta adanya law and order (penegakan hukum)
Kedua, penyempurnaan system perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai dengan tiga ranah pembangunan dengan paradigma Pancasila, yaitu Tata-Nilai, Tata-Kelola, dan Tata-Sejahtera.[v] Tata Nilai menekankan pentingnya penguatan mental-kultural bangsa, mental kultural seluruh rakyat, terutama para penyelenggara negara dengan terus memperkuat pembangunan bangsa dan karakter. Dalam ranah ini upaya harus terus dilakukan agar nilai-nilai Pancasila benar-benar dijiwai oleh seluruh komponen bangsa melalui pembangunan manusia dan kebudayaan. Tata Kelola memfokuskan kepada perbaikan-perbaikan di bidang perencanaan dan penganggaran, perbaikan data, kerjasama (koordinasi) kelembagaan, serta pelaksanaan/pengelolaan program yang akuntabel dan berkelanjutan, termasuk pemantauan dan evaluasinya. Sistem basis data terpadu dan koordinasi melalui lembaga-lembaga yang sudah ada perlu dioptimalkan. Sementara itu, Tata Sejahtera lebih difokuskan untuk mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna bagi masyarakat miskin dan rentan serta untuk menambah nilai tambah yang mereka nikmati sehingga daya beli, produktivitas, dan daya juang mereka dapat terus ditingkatkan dan dijaga keberlanjutannya. Pembenahan di ranah Tata Sejahtera pada akhirnya akan mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Pembangunan Tata Nilai, Tata Kelola, dan Tata Sejahtera dalam penyempurnaan system perlindungan sosial ini tentunya akan saling berinter-relasi dan bersinergi dengan didukung oleh political will melalui kepemimpinan yang kuat dan baik, yaitu adanya strong leadership dan good governance.
Ketiga, pendekatan kebijakan dan program yang cenderung bersifat konsumtif harus dilakukan seminimal mungkin, dan betul-betul dirancang graduasinya secara baik. Pendekatan yang lebih menekankan peningkatan produktivitas masyarakat miskin harus lebih diutamakan agar masyarakat miskin mampu menolong dirinya sendiri (prinsip self-help) dan tidak menjadi bergantung kepada adanya bansos. Kebijakan dan program seyogyanya didesain untuk memberikan “kail” dan bukan memberikan “ikannya”.
Keempat, libatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan dan program perlinsos untuk meminimumkan kesempatan terjadinya korupsi ataupun kebocoran-kebocoran mulai perencanaan dan poenganggaran sampai pelaksanaan. Dengan demikian perlu dibangun system perlinsos yang transparan dan akuntabel, serta senantiasa menjaga good governance.
Kelima, semaksimal mungkin harus dipersiapkan pendamping dengan jumlah dan kualitas yang memadai, sehingga mempunyai kompetensi dan kapasitas yang memadai baik secara ideologis (mental-kultural) maupun mampu secara teknis manajerial ataupun kompetensi teknis di sector atau bidang terkait. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus terus didorong agar terjadi inovasi-inovasi produk, percepatan literasi keuangan dan digital, serta dengan tetap menjaga kohesi sosial (persatuan dan kesatuan). Para pendamping perlu terus dibina sehingga mampu menjadi agent of change (agen perubahan) dalam pelaksanaan kebijakan dan program perlindungan sosial melalui “training of trainer” agar akselerasi penurunan tingkat kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstreem dapat dicapai sesuai rencana, yaitu target nol% extreme poverty pada tahun 2024.
Keenam, lingkungan yang kondusif harus terus diperkuat (ada affirmative policy) melalui pemberian kesempatan atau akses yang adil (equal opportunity and equal access) kepada masyarakat miskin dan rentan terhadap ketersediaan modal, akses pasar, maupun akses terhadap informasi dengan dukungan program literasi digital. Hal ini penting untuk memperkuat jaringan informasi maupun perdagangan antar wilayah, serta memberikan gambaran potensi masing-masing daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Ketujuh, penyempurnaan system perlindungan sosial utamanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan rentan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Pendekatan produktivitas yang dilakukan harus menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan (people centered) serta semaksimal mungkin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge- based community driven development) agar graduasi masyarakat miskin dan rentan dapat terealisir dengan baik dan sekaligus semakin memperkuatr persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu pemberdayaan ekonomi rakyat dilakukan dalam satu kerangka yang utuh dan terintegrasi dengan pembangunan manusia dan kebudayaan. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi rakyat sekaligus akan membangun kesadaran kewargaan akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang Pancasilais, warga yang sadar akan kelestarian lingkungannya, serta warga yang mempunyai kemampuan kewirausahaan. Pada akhirnya penyempurnaan sistem perlindungan sosial juga semakin memperkokoh pembangunan bangsa dan karakter (nation and character building) serta ketahanan ekonomi rakyat.
Pendekatan produktivitas dan people centered dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, penguatan sinergi lintas sektor dan wilayah dalam penyempurnaan sistem perlindungan sosial berbasis Pancasila ini harus selalu dijaga dan terus dikembangkan dengan payung besar pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Jangan sampai jurus BLT terus digunakan berulang-ulang untuk menghadapi krisis di masa depan, padahal hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan. Kebijakan dan program BLT sebagai solusi penanggulangan kemiskinan harus secara bertahap dikurangi sejalan strategi graduasi (exit strategy) bagi masyarakat miskin dan rentan.
Penulis:
Dr. Prasetijono Widjojo MJ
Ketua Pusat Studi Kebijakan Nasional Indonesia, Anggota Tim Ahli Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), Anggota Dewan Pengawas Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI Pusat) Anggota Dewan Pakar PA-GMNI, Anggota Dewan Pakar FKPPI, Ekonom Senior Aliansi Kebangsaan
End Notes
i Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022, halaman 272-277.
ii Buku II NK dan RAPBN Tahun 2023, halaman 272-275.
iii Badan Pusat Statistik.
iv Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Pedoman Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental, 2021.
v Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia, Aliansi Kebangsaan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2022.