IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Perbedaan Antara Negara Perusahaan Dengan Negara Kebangsaan

‘Jika rusak suatu konstitusi, rusaklah semua unsur-unsur negara dan hancurlah kehidupan sebuah bangsa’

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) beberapa waktu lalu menilai perusahaan pertambangan paling berkontribusi besar terkait kerusakan alam yang terjadi di kawasan Indonesia. Bahkan kerusakan alam akibat pengelolaan pertambangan, melebihi lahan yang dikelola oleh perusahaan. Lebih parah lagi perusahaan pertambangan yang menyebabkan kerusakan alam tersebut, mayoritas perusahaan pertambangan asing.

Sayangnya, negara seperti menutup mata akan hal tersebut. Dan saat negara tidak berani menangkap pejabat dan pengusaha yang kongkalikong merusak lingkungan sehingga bencana datang mengganas; saat negara tak bekukan rekening mereka serta sita asetnya (dinasionalisasi); saat penegak hukum hanya berani dengan rakyat miskin, maka negara telah menjelma menjadi “corporate state” yang melayani oligark.

Pengertian Corporate State

Corporate state atau negara perusahaan adalah negara yang dikendalikan oleh para konglomerat, pebisnis dan pengusaha dalam aspek-aspek ekonomi, politik, budaya dan pendidikan melalui sistem perundangan demi tercapainya cita-cita para pengusaha, niat perusahaan dan kelompoknya. Kepentingannya adalah kepentingan kelas pengusaha (saja).

Kepentingan pengusaha yang sistemik menghasilkan kekuasaan sistemik dan korupsi sistemik plus kehancuran sistemik. Inilah perjalanan reformasi yang diisi para plutokrat yang tak berinvestasi dalam revolusi Mei. Kerja mereka demikian masif dan terorganisir dalam menggangsir republik.

Lalu, apa itu oligark? Mereka adalah gerombolan agensi yang membentuk oligarki: sebentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari perusahaan, yang dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk “sedikit” dan “memerintah. So, mereka adalah minoritas kreatif yang sangat berkuasa karena “tidak tak tersentuh hukum.”

Tentu saja semua itu mengkhianati konstitusi. Mengapa? Karena tidak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 (yang Asli/18/08/1945). Sebab negara kita sesungguhnya merupakan negara kebangsaan dan negara hukum plus negara kesejahteraan. Apa ciri dari ketiga bentuk negara itu? Kepastian adanya keputusan publik berbasis keinginan publik yang bersumber dari pikiran-perasaan publik.

Pengertian Negara Kebangsaan

Apa itu negara kebangsaan? Disebut juga nations state adalah negara yang dibentuk dari sejumlah bangsa (tribus) dengan tujuan yang disepakati bersama dalam konstitusinya sehingga pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan—atau nasionalisme—yaitu pada tekad warganegaranya untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. Bhineka Tunggal Ika dan semua untuk satu serta satu untuk semua sehingga menghasilkan kepentingan bersama, perlindungan bersama, sentausa bersama dan keadilan bersama.

Teks negara kebangsaan ini termaktub dengan jelas pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-3 yang berbunyi: “…supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,..” yang kemudian ditegaskan dalam bab satu pasal 1: (1)Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; (2)Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; kemudian ayat tiga menjadi teks dasar negara hukum (3)Negara Indonesia adalah negara hukum-law governed state.

Sementara teks negara kesejahteraan ada di BAB 16 pasal 33 UUD 1945: (1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2)Cabang­-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­-besar kemakmuran rakyat; (4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pertanyaannya, “apa yang dinikmati oleh seluruh rakyat (miskin) dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya?” Tak banyak. Bahkan yang ada hanya ampas dan limbah. Justru makin dikuasai oleh para pemodal yang menghasilkan bencana alam: banjir, longsor, kemacetan, kebecekan dan kesengsaraan lahir batin; menajamkan ketimpangan dan memperparah kemiskinan di seantero nusantara.

Begitupula dalam hal sekolah. Sesungguhnya, di luar sekolah kultural (swasta), semua sekolah (negeri) dihadirkan untuk menopang struktur (negara). Cek dari sejarah STOVIA sampai UI. Itu artinya, saat negara kebangsaan hadir, sekolah juga dihadirkan untuk menopangnya menggantikan topangan untuk VOC dan para penjajah. Kini, setelah negara kebangsaan berubah menjadi negara perusahaan yang diinisiasi oligark, maka sekolah juga hadir untuk menopang kokohnya bangunan negara perusahaan.

Ketika muncul usaha sistemik “membunuh sekolah swasta” sesungguhnya itu program urutan saja agar tidak muncul oposisi dari lembaga-lembaga yang kritis terhadap negara.

Demikian juga di UU-nya. Pasti akan diselaraskan dengan niat, cita-cita dan hegemoni korporasi. So, ini proxy hulu-hilir. Tidak sepotong-sepotong dan parsial. From state building and pro claim, nationality, national mentality, national interest, national legalization, national achievement, national domination (Indonesia Raya) and Indonesian dream. ‘Dari pembangunan negara dan proklamasi, kebangsaan, mentalitas nasional, kepentingan nasional, legalisasi nasional, prestasi nasional, dominasi nasional (Indonesia Raya) dan mimpi Indonesia’.

Masih tidak percaya? Mari kita saksikan pemihakan negara dalam hukum, UU, kebijakan, rekruitmen dan tindakan mereka hari demi hari. Pasti terbaca.

Karena itu, para leluhur yang bijak bestari sudah berwasiat, “kursi kekuasaan itu perlu dipastikan untuk kepentingan kebaikan dan didasari motif kearifan kebijaksanaan. Tanpa itu, jejak narasinya hanya apologia: igauan kaum jahil.” So, stop. Mari tobat nasional. Kembali ke pikiran, ucapan, tulisan dan karya para pendiri republik.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply