Setelah meriset konsep ekopol konstitusi, seperti janjiku kemarin, kini giliran berbagi pengetahuan tentang masalah ekonomi haram (shadow economic). Ini adalah soal yang sangat genting. Jauh lebih penting dari sekedar persoalan pergantian kekuasaan.
Mengapa? Sebab para pemain shadow ekonomic inilah yang kini mengatur negara, mencengkeram aparaturnya secara halus tak terendus, menjajah kita semua sampai tujuh turunan dengan mencipta segitiga setan: Konsolidasi Keserakahan — Masifikasi Kekuasaan — Intensifikasi Kekayaan.
Pemain Shadow Ekonomic Bersekutu Memaksa Memilih Presiden Pilihan Mereka Dan Memaksa Presiden Memilih Kabinet Mereka
Dapat dikatakan bila mengingat shadow economic adalah seperti merapal mantera: “Apa yang tak terdeteksi bukan tak terjadi.” Inilah ontologi ekonomi haram: ada tetapi tiada. Tiada tetapi ada. Maka, perlu mata setajam silet untuk memahaminya. Perlu nalar jenius untuk mengetahuinya.
Shadow economic adalah projek ekonomi ilegal (bisnis haram) yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu, antara lain sebagai berikut.
Pertama. Menghindari kewajiban perpajakan, baik PPH, PPN maupun pajak lainya. Kedua. Menghindari kewajiban non-pajak seperti yang diatur dalam regulasi pemerintah. Ketiga. Menghindari pemenuhan standar ketenagakerjaan yang legal, meliputi upah kelayakan minimum, jam kerja yang telah ditetapkan, standar keselamatan, dan lain-lainnya. Keempat. Menghindari kewajiban administratif dan prosedural, seperti perijinan dan sejenisnya.
Penyebab munculnya shadow economic sendiri adalah sebagai berikut. Pertama. Ketatnya regulasi pemerintah, baik itu dalam hal perpajakan, aturan bisnis dan investasi, serta regulasi lainnya yang mengurangi manfaat/keuntungan yang diperoleh individu dan entitas bisnis (perusahaan). Kedua. Pemerintahan yang tidak memiliki integritas dan justru bekerja sama dengan individu atau entitas bisnis dalam melanggar peraturan. Ketiga. Keinginan individu maupun entitas bisnis yang mencari celah (loopholes) guna dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan pribadi.
Tentu saja, shadow economic akan semakin berkembang biak terutama di negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah, bahkan bisa dibeli.
Secara umum, penelitian-penelitian menyebutkan bahwa skala kegiatan shadow economic berada di kisaran 15-20% dari total pendapatan domestik bruto (PDB) di negara maju. Sedang untuk negara berkembang bisa mencapai 60-75% dari PDB.
Namun demikian bisa jadi juga, dalam kenyataannya ditemukan angka yang lebih besar daripada angka di atas. Mengingat bahwa kegiatan ini mengandung makna terselubung, tidak transparan, dan gelap serta diternak penguasa demi penebalan kantong mereka.
Di Indonesia, shadow economic terbesar beredar di enam area: 1. Bisnis Teroris. 2. Bisnis Pelacur. 3. Bisnis Narkoba. 4. Bisnis Judi. 5. Bisnis Undang-Undang. 6. Bisnis Jabatan Presiden.
Bisnis haram ini mulai marak sejak Jenderal Soeharto berkuasa. Pasukannya merampok asset-asset terutama tanah-tanah yang isinya kebun, tambang, dan lainnya untuk dibagi-bagi kepada para jenderal dan elit ORBA yang kemudian dialihkan, dipinjamkan, disewakan atau dijual ke klien-klien (swasta dan asing).
Kebijakan itu di-copy paste pemerintah setelahnya, yang pada akhirnya pola patron klien terbentuk. Karena itu dalam skala bisnis besar di perkebunan pertambangan kehutanan dan lainnya, selalu ada swasta (asing dan dalam negeri) dan para jenderal serta para elit. Semua itu bisa dicek pada komposisi saham, Komisaris, BOD dan akta notaris bawah tangan. Lalu dengan modal itu, dipakai untuk bisnis yang tak diurus negara (judi, prostitusi, dan narkoba) lalu ke teroris dan legal drafting serta kursi publik karena tidak ada UU-nya.
Karena itu mereka yang menganggap terorisme adalah soal ideologis, sesungguhnya ilmuwan jahil. Ini adalah bisnis besar kaum serdadu kolaborator. Nilainya lebih dari 200 triliun/tahun. Bisnis ini milik kaum bersenjata. Di situ ada korban, di situ ada yang naik pangkat. Itu rumusnya. Uangnya berputar-putar di antara mereka saja. Sebab bagaimana mungkin masyarakat biasa khususnya orang kampung, yang bisa memiliki senjata kecuali karena adanya persekongkolan dengan pimpinan serdadu kolaborator tersebut.
Di mana ada senjata dan kuasa, di situ serdadu memerlukan samsak lain. Berkembanglah kemudian bisnis pelacuran. Hingga saat ini, tidak ada pelacuran tanpa perlindungan pemilik senjata dan kuasa. Nilainya lebih dari 300 triliun/tahun. Karenanya ia tidak akan bisa dibasmi: sebab mereka sudah tahu sama tahu.
Agar pelacuran bisa berkepanjangan, mereka memproduksi narkoba. Korbannya kaum sipil kaya. Nilainya lebih dari 400 triliun/tahun. Agar terlihat serius, dibuatlah lembaga BNN. Keren bukan sandiwaranya? Menjadi wajar bila narkoba seperti tidak bisa dibasmi. Temuan dan pemusnahan narkoba secara besar-besaran oleh aparat sebagaimana pemberitaan di media massa, tidak lantas membuat peredaran narkoba lenyap.
Agar kebahagiaan bertahan lama, maka dibuatlah judi. Ini bisnis setua peradaban yang dikutuk semua agama tetapi langgeng di semua negara. Nilainya lebih dari 500 triliun/tahun. Sangat besar tentunya.
Pemain Shadow Ekonomic Bersekutu Miliki Rumah Sakit, Partai, Media, Serdadu Serta Kampus-Kampus
Menyempurnakan temuan di atas, ilmuwan Andi Tadampali pernah menulis bahwa pada saat ini telah tumbuh tiga pembagian tugas pada para pemain shadow economic.
Pertama. Badut politik (oligarki politik) tugasnya menjadi pejabat politik puncak untuk menjalankan pemerintahan boneka.
Kedua. Bandar politik (oligarki ekonomi) tugasnya mendanai seluruh kebutuhan untuk menang pemilu. Mulai dari logistik pemilu hingga suap politik pemilu.
Ketiga. Bandit Politik (oligarki sosial) tugasnya mobilisasi dukungan politik pemilu. Di sini para bandit politik gunakan segala cara agar rakyat mau mendukung/menangkan badut politik. Ada bandit politik yang gunakan pasal-pasal peraturan hukum, ayat-ayat kitab suci, dan teori-teori akademik.
Bagaimana kemudian dengan bisnis undang-undang dan ternak kekuasaan presiden? Tentu ada penjelasan dan penjabarannya tersendiri.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono
Sumber gambar: https://assignmentpoint.com/shadow-economy/