Di banyak kampus, banyak sekali ilmuwan yang telah berkata demikian. Kita tidak tahu ke mana negara ini mengarah, sebab acuannya semakin tidak konsisten. Jika acuannya pasar, kita hanya pasar segmented. Jika acuannya konstitusi, kita hanya mengkhianati. Jika acuannya klasik (PDB, Rasio Gini, Pertumbuhan, Kemajuan dan Utang), praktis angka-angkanya tidak menunjukkan sebuah lompatan besar.
Jadi, apa sesungguhnya yang dipakai elite pada hari ini dalam ‘mengelola pemerintahan’ dan menjalankan ‘mandat kemenangan pemilu’? Satu-satunya jawaban yang pas adalah ‘indeks kekuasaan diri dan segmentasinya’.
Pengertian Indeks Kekuasaan Diri dan Segmentasinya
Indeks kekuasaan diri dan segmentasinya adalah sebuah kesesatan berfikir, sebab seluruh hal-ikhwal perbuatan yang ada hanya untuk diri dan kelompoknya saja. Melalui indeks itu maka praktis: semua sesat pikir, perbuatan setan, buta-tuli-bisu terhadap nasib warganegara, dapat terjelaskan dengan sendirinya.
Karena itu, ilustrasi yang meminjam tulisan Khalil Gibran (Turki: 1912) menjadi relevan bahkan penting. Ilustrasi puitis tersebut berbunyi sebagai berikut.
“Betapa kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri; memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri.
Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.
Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat senjata kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.
Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal plus tukang contek.
Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.
Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu; sedang orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa merdeka padahal dijajah.
Kasihan bangsa yang alamnya indah, sawahnya hijau sepanjang masa, tapi banyak penjahat dan orang bodoh dan lugu dijadikan elite negara.
Kasihan bangsa yang hasil laut, tambang dan hutannya seperti sorga di dunia tapi banyak rakyatnya menderita karena kejujuran dan keadilan telah sirna.
Kasihan bangsa karena tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; dibangun dari hasil korupsi, sehingga para pencuri tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya. Kasihan negara itu. Ya. Kasihan warganegaranya.”
Perlu Segera Lompatan Kesadaran dan Proyeksi Kecerdasan di Atas Rata-Rata
Dari sebab itu, maka bagaimana agar bangsa itu tak terjerumus ke dasar penderitaan, aparatnya tidak menjadi penghianat, dan pejabatnya tidak menjadi penjahat? Tentu tak cukup melakukan tobat nasional. Terlebih, pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya.
Kita memerlukan lompatan kesadaran dan proyeksi kecerdasan di atas rata-rata. Sebab kini, siapa saja yang berharap bahwa demokrasi liberal membawa kesejahteraan, maka mereka telah bermimpi. Siapa saja yang bersikeras bahwa neoliberalisme menciptakan kemandirian, maka mereka sedang berkhayal.
Demokrasi liberal dan neoliberalisme ini sekeping mata uang dengan dua sisi. Seperti candu dan nikotin kehidupan. Penyakit kaum lemah nalar dan janji para durjana. Semua merupakan alat penghisapan tersempurna.
Dengan trias-revolusi yang berdentum, kita wajib menjawab problema negara ini dengan membuat indeks kemakmuran negara-warga yang implementasinya terukur dan terstruktur secara mandiri. Makmur karena sembilan kategori yaitu: kebebasan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, lapangan kerja, kesejahteraan, sosialitas, kemerataan, dan kemandirian berada pada ekuitas dan likuiditas terbaik.
Indeks kemakmuran dengan demikian adalah hitungan keadaan di mana kita mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier dengan mudah. Kemakmuran berarti mendapatkan semua kebutuhan tersebut tanpa adanya tekanan; kita mampu mengatur keadaan finansial, waktu dan tenaganya; memiliki waktu untuk bersosialisasi, menjalankan hobi dan rekreasi. Jika hidup makmur maka kita akan lebih mudah dalam meraih kebahagiaan dan kesenangan hidup.
Tetapi indeks ini akan jadi barang mati, jika kita semua tidak mengimplementasikannya. Sebaliknya, indeks ini akan bermakna jika kita mematrialisasikan di lapangan. Tentu ini merupakan pekerjaan raksasa. Pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh pemikir dan pemimpin raksasa. Kini, siapkah kita semua untuk mengerjakannya? Tidak ada jawaban lain selain harus. Ayok kita praktekkan segera.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono