Saya telah membaca buku bagus karya salah seorang konglomerat baru (bukan turunan konglomerat tujuh generasi). Buku ciamik. Kini kubagi resensinya buat yang suka ilmu. Yang mau punya, bisa kontak ke penulisnya.
Nama lengkapnya panjang, Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto. Ia tercatat memiliki kekayaan senilai USD995 juta atau setara Rp14,22 triliun (kurs Rp14.300 per USD). Luar biasa bukan kekayaannya? Bisa bangun kampus Nusantara, kalau beliau mau. Tapi, sepertinya beliau belum memikirkan kampus. Masih fokus berfikir ke core business-nya semata, sepertinya.
Dengan kekayaannya tersebut, bos Garudafood ini masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia ke-42 versi Forbes (15/2/2022). Dan, nujumku pada nasibnya adalah: “akan terus tambah dan berlipat kekayaannya.” Mengapa? Sebagian jawabannya ada di buku yang ditulisnya.
Menjaga Keseimbangan Spiritualitas dalam Bisnis
Dua tahun lalu, Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2020) resmi meluncurkan bukunya yang berjudul “Mindfulness-Based Business: Berbisnis dengan Hati.” Buku ini adalah pengembangan lebih lanjut dari pidato pengukuhan anugerah Doktor (HC) di UKSW Salatiga. Tentu menjadi bukti-bukti kinerjanya, usahanya, biografinya sekaligus praktik dan mimpi-mimpinya.
Lewat bukunya, penulis yang merupakan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) periode 2017–2022 serta Chairman PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk ini, menyampaikan gagasan mengenai pentingnya menjaga keseimbangan spiritualitas dalam bisnis. Tentu ini menarik. Setidaknya karena tiga hal.
Pertama, apa iya berbisnis bisa sambil berspiritual? Bukankah manusia itu hewan kapitalis yang hobinya menumpuk harta, sementara ajaran spiritual sebaliknya. Apakah kita bisa berbisnis tanpa meninggalkan moralitas (ajaran agama)?” Penulis menjawab: “bisa dan niscaya.” Apa buktinya, ya ada pada pengalamannya membangun perusahaan Garudafood yang meraksasa tanpa tercerabut dari akar kemanusiaannya.
Kedua, di mana kurikulumnya? Bukankah bisnis di kurikulumnya itu ramai melipatgandakan kapital dengan segala cara dan fokus plus mendunia, sementara spiritualisme mengkurikulumkan keheningan. Penulis membuat kurikulum sendiri dan menerapkan panduan-panduan normatif berupa mindfulness-based business (MBB) ‘Bisnis Berbasis Kesadaran’. Di buku ini, penulis menerangkan bagaimana mindfulness practices ‘praktik perhatian’ secara integral dikombinasikan dalam kegiatan bisnis demi tercapainya kepuasan serta kesejahteraan segenap komponen yang terlibat. Tentu dengan terus dikoreksi dan diperbaiki.
Ketiga, apa tujuannya? Bukankah ini mirip mimpi bisnis berbasis Pancasila yang ujungnya “keadilan dan kesentosaan buat dan bagi sesama.” Buku ini menjawab sekaligus menyampaikan gagasan penulis mengenai pentingnya menjaga keseimbangan sisi spiritualitas dalam pengelolaan bisnis atau organisasi yang dipetakan menjadi delapan bab dan disertai dengan studi-studi kasus yang dapat memperlihatkan mindfulness practices kepada pembaca sehingga lebih mudah untuk dipahami. Tentu saja, tujuan bisnis model penulis adalah keseimbangan dan kesetimbangan.
Singkatnya, penulis menyampaikan gagasan mengenai pentingnya menjaga keseimbangan, keselarasan dan keadilan demi keberlangsungan dan sustainibilitas kehidupan bersama.
Kebahagiaan Hidup Sejati Adalah Mengambil Bagian Dalam Tujuan Menyelamatkan Negara dan Rakyat
Kehidupan penulis yang memiliki latar belakang beragam sebagai aktivis, pengusaha dan pejabat negara, semakin memperkaya pikiran dan tindakannya. Ia memperlihatkan bahwa mindfulness ‘perhatian’ bisa diterapkan di empat dunia yang berbeda: komunitas bisnis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi keagamaan dan lintas iman, serta pejabat tinggi negara.
Megawati Sukarnoputri (Presiden ke-5) sampai menjuluki buku ini sebagai: “Buku Bisnis Berpancasila.” Begitu juga praktisi dan ilmuwan lain yang sudah membaca dan mengkritisinya. Menurut kolega-koleganya, cara berbisnis seperti yang dipraktekkan penulis adalah cerminan jiwa yang mindful ‘sadar’: yang tak henti mencari cara agar bisnis yang dijalani memberikan semakin banyak manfaat bagi makin banyak pihak.
Mungkin karena penulis adalah seorang rokhaniawan yang dalam, maka bukunya juga mengajak melakukan perjalanan spiritual dan berefleksi: apakah sisa hidup akan dipakai membangun bisnis yang semata-mata melipatgandakan kekayaan, atau fokus utamanya adalah seberapa besar manfaat dan kebaikan yang dapat diciptakan dan dibagikan ke banyak orang. Dan, penulis memilih yang kedua.
Mungkin karena penulis adalah seorang penikmat hikmah buku-buku filsafat maka ia pun mewariskan tulisan yang sangat menyentuh: “Kebahagiaan hidup yang sejati di negeri ini adalah ketika kita mengambil bagian dalam tujuan menyelamatkan negara dan rakyatnya dari amok pebisnis neoliberal yang tak sudah-sudah, menikam mereka tepat di jantung dan istananya agar tak tumbuh berkembang sesudahnya.” Eh… maaf, paragraf terakhir ini sebenarnya dari peresensi.
Mestinya memang, di alam merdeka Indonesia, kita berkarya besar cukup dua: mempermudah kehidupan sesama dan meningkatkan kualitas kehidupan bersama. Bukan sebaliknya: memeras sesama dan menyiksa mereka. Inilah mestinya pelajaran hikmah yang diterima sepanjang perjalanan hidup di negara yang raya: ahlaknya, nalarnya, ipteknya, imtaknya, karyanya, cita-citanya.
Maaf ya Pak Sudhamek. Kapan kita bisa membangun kampus untuk mendiseminasikan buku dan pikiran-pikiran yang sangat Pancasilais ini? Kita menunggu untuk dapat segera bersama menjadi sebuah tim.(*)
Penulis resensi: Dr. M. Yudhie Haryono