“Karena ini perang semesta maka ideologi kita bukan bagian dari penjajah. Sebaliknya ideologi ini antitesa dari yang ada (kapitalisme dan etatisme) agar kita selalu merdeka,” kata Soekarno suatu kali. Ide yang melawan, memerdekakan dan membebaskan. Dus, revolusi ini memberikan umat manusia secerah harapan, keyakinan dan kepercayaan akan hadirnya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama dan untuk semua.
Inilah jalan kemanusiaan yang mengarah pada kesederajatan, kemandirian, persaudaraan, kemodernan dan kemartabatifan. Lima cita dalam lima jalan. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuh dan bersemilah sesuatu yang lain, yang sesuai, yang lebih cocok, yang kami namai Pancasila.
Satu ideologi bernegara yang khas dan kulminatif dari ide dan gagasan besar di masa lalu, kini dan mendatang di seluruh dunia,” demikian Hatta bicara suatu kali. Satu ideologi hibrida karena menyatukan gagasan dan tindakan dalam berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi dan berkeadilan yang dikerjakan dengan melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan (untuk, oleh dan dari semua warganegara Indonesia).
Inilah leitstar statis dan leitstar dinamis yang akan menancapkan kesemesta peradaban Indonesia. Ia akan menjadi philosophy, weltanschauung, hudan, norma dasar yang integralis karena mengatasi partikularitas paham individualistik (liberalisme), golongan (SARA-tribalisme-fundamentalisme) serta komunalis (komunisme).
Pancasila Merupakan Gabungan Declaration of Independence dan Keadilan Sosial Atau Manifesto Communist Dan Ketuhanan yang Esa
Dari hal tersebut semua, dapat dikatakan bila Pancasila secara umum adalah Declaration of Independence plus Keadilan Sosial atau Manifesto Communist plus Ketuhanan yang Esa.
Pancasila menghibridasi Barat dan Timur bahkan kapitalis dan komunis karena merupakan hogere optrekking (kenaikan kapasitas subtantif) yang memiliki lima kaki: spiritualis, intelektualis, kapitalis, sosialis, humanitas.
Di dalamnya ada hasrat keyakinan, kepengetahuan dan kebertindakan secara serempak. Dunia Barat berhutang dari Pancasila karena mencuplik sebagian untuk membangun negaranya. Sayangnya, pada sisi lain, kebanyakan kita lupa dan mengkhianatinya.
Hibridasi ini terkait pada sosio-religius, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ia berpijak pada tiga poros: theo-antro-eco centris (periketuhanan, perikemanusiaan dan perilingkungan yang resiprokal kritis). Dus, ia tidak khas dan genuin dari Indonesia pada awalnya melainkan hasil persemaian yang panjang sebagai taman saripatinya dunia. Sebagai taman dunia, maka semua menjadi ada di Indonesia. Hal ini karena segala sesuatu yang ada di dunia dapat ditemukan di sini.
Menjadi rahasia umum jika ideologi adalah ide atau gagasan waras nalar cerdas. Kata ini diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan ‘sains tentang ide’. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara pandang subtantif (weltanschauung) atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas dominan pada seluruh masyarakatnya.
Tujuan utamanya adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi merupakan sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah publik sehingga menjadi inti politik-publik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
Sedang hibrida adalah hasil persilangan (hibridisasi atau pembastaran) antara banyak sesuatu dengan genotipe awal yang berbeda. Hibrida, bastaran dan blasteran dengan demikian adalah pertemuan banyak peradaban yang menghasilkan satu barang/ilmu/sifat/sikap/spesies baru dengan ciri-ciri yang sama sekali baru. Mirip sambal. Ia awalnya kumpulan sesuatu yang membentuk barang baru setelah diblendid atau diulek.
Jika menilik isi subtansi Pancasila maka kini kita paham bahwa ia produk hibridasi (adonan) dari berbagai pikiran besar yang dikerjakan oleh nalar besar, cerdas dan dahsyat.
Dari cara kerja ini mestinya melahirkan “mental, nalar dan konstitusi” dahsyat: peradaban Atlantik yang gigantik. Indonesia yang Raya. Jika belum, ada baiknya kita berefleksi kembali untuk menentukkan proyeksi yang benar dan pener. Inilah tugas semesta kita. Sebab krisis yang dihadapi tak cukup diobati pakai obat penahan rasa sakit atau minyak angin yang tambal sulam. Sebaliknya wajib menghadirkan revolusi Pancasila sebagai diagnosa komprehensif sekaligus operasi besar demi sehatnya bangsa dan negara. Pahit dan perih dirasa tapi menyembuhkan.
Rezim ORBA dan Neo-ORBA Lakukan Kesalahan Dalam Mengimplementasikan Pancasila Dalam Ranah Ekonomi
Gagasan besar Pancasila tersebut sayangnya terjerembab dalam pengalikasiannya khususnya dari sisi pembangunan ekonomi. Rezim ORBA dan Neo-ORBA membuat kesalahan karena menghadirkan pondasi liberalisme dan neoliberalisme. Rezim ini bahkan demikian tunduk pada pasar sehingga menghasilkan dependensia (ketergantungan) dan ketimpangan (tidak mandiri).
Teori ekonomi dependensia pertama kali dicetuskan Paul Baran. Dalam buku On the Political Economy of Backwardness (1952), Baran menjelaskan berbagai faktor penyebab keterbelakangan ekonomi di negara postkolonial, terutama di Amerika Latin. Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat, elit internal dan investor asing, Baran melihat adanya kontradiksi antara imperialisme, proses industrialisasi dan ekonomi pembangunan umum di negara postkolonial tersebut.
Baran mengakui bahwa investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dari negara penjajah (MNC) di negara terjajah di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan nasional, namun di sisi lain peningkatan pendapatan di negara postkolonial tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat miskin tersebut karena tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Keuntungan yang dihasilkan oleh investasi perusahaan multinasional melalui eksploitasi sumber daya alam dan manusia (SDA&SDM) di negara postkolonial tidak dinikmati secara merata.
Keuntungan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik saja. Baran menyimpulkan bahwa pada dasarnya ‘investasi asing tidak meningkatkan kesejahteraan negara postkolonial’. Yang terjadi hanya perubahan kebiasaan sosial rakyat miskin serta perubahan orientasi dari kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri menjadi orientasi produksi untuk memenuhi pasar luar negeri. Liberalisme dan kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin, tetapi sangat berhasil menstabilisasi semua ketimpangan ekonomi dan sosial yang melekat dalam sistem kapitalis negara postkolonial.
Karena itu mengingatkan kembali akan dialog yang kita lakukan menjelang Pilwakot Solo kedua dulu, bahwa kita telah bersumpah atas nama Pancasila dan rakyat miskin untuk merubah struktur ekonomi warisan rezim kolaborator, kini semua sudah sampai di mana? (*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono