Konflik adalah tantangan sebuah negara majemuk. Negara dengan banyak agama, suku, bahasa dan ras. Negara seperti Indonesia. Konflik menjadi menu keseharian.
Menurut asal katanya, konflik berasal dari bahasa Latin “configere” yang berarti saling serang. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Penyebab Akar Konflik Di Indonesia
Proses terjadinya konflik seringkali disebabkan oleh tujuan yang berbeda, perbedaan alokasi sumber kekayaan yang dibagikan, keputusan yang diambil dianggap merugikan, maupun arogansi perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982).
Di Indonesia, faktor utama terjadinya konflik disebabkan karena cara dan hasil dari keputusan yang tidak menghasilkan rasa adil dan aman. Keputusan publik yang minus rasa publik melahirkan konflik sosial. Dus, konflik sosial yang terjadi dalam kehidupan bernegara hadir karena adanya keputusan anti publik sehingga menghasilkan kesenjangan sosial atas dasar hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, PBB mencatat sebanyak 75 persen dari konflik besar yang terjadi di dunia saat ini berakar pada dimensi kultural dan struktural. Dua dimensi inilah yang seharusnya menjadi fokus kita dalam melakukan proses mediasi dan integrasi.
Berdasar data di Bapenas, Kemendagri, Kemenag, BNN, BNPT, BPN, Kepolisian dan BPS, eskalasi dan potret konflik dicatat selalu meningkat. Jika dijumlahkan maka setiap hari Indonesia menerima kurang lebih 133 kali konflik setiap hari dari berbagai sebab: politik, tanah, ekonomi, ideologi, organisasi, hukum, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
Cara Menyelesaikan Konflik
Dengan adanya peta konflik tersebut, bagaimana kemudian cara mengatasinya? Secara makro, kita bisa mengembangkan road map transformasi dalam tujuh wilayah.
Pertama, kita harus adakan transformasi mental. Dari mental kolonial yang fasis, fundamentalis, tribalis dan serakah menjadi mental konstitusional. Ini kunci utama. Mental inilah yang menjadi pondasi bagi proses-proses diskusi, integrasi, asimilasi dan konsensus.
Kedua, kita lakukan transformasi ekonomi. Dari ekonomi ‘penjajah yang timpang, oligarkis, kleptokratis dan predatoris’ menjadi ekonomi nasional yang adil dan beradab. Kunci kedua ini sangat penting mengingat ekonomi merupakan sumber dari segala sumber konflik modern.
Ketiga, kita kerjakan transformasi sosial. Dari keadaan feodalis, fasis dan fundamentalis menjadi keadaan demokratis, humanis dan sosialis. Keadaan sosial kita harus sehat, terbuka dan jujur.
Keempat, kita tradisikan transformasi politik. Dari politik belah bambu adu domba menjadi politik persatuan dan konsensus.
Kelima, kita realisasikan transformasi kurikulum. Dari kurikulum predatoris, oligarkis dan kartelis menjadi kurikulum adil, makmur, sejahtera dan merata.
Keenam, kita tradisikan transformasi hukum. Dari hukum elite yang membela pembayar menjadi hukum berkeadilan dan imparsial. Hukum harus jadi alat utama keadilan.
Ketujuh, kita galakkan transformasi agensi. Dari agensi ambtenaar yang malas dan jahiliyah menjadi agensi jenius, inovatif dan menyempal (crank).
Tujuh revolusi inilah solusi yang harus kita kerjakan. Dengannya, maka segala konflik dan pelapukan akan mudah diselesaikan. Jika ditambah dengan semangat persatuan dan kesatuan, maka akan membuat kita kuat sebagai barisan, yaitu barisan Pancasila.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono