Tak terasa telah 20 tahun lebih kita mencampakkannya. Percaya diri ‘menggantinya’ dengan demokrasi ultra liberal. Sekalipun istilah ini tidak pernah diakui. Hasilnya keren: presiden wayang, mahal di prosedur, kemiskinan dan ketimpangan meningkat serta utang menggunung. Rakyat terbelah dan konflik tak sudah-sudah.
Dari refleksi itu, lahirlah buku berjudul “Demokrasi Pancasila (Sebuah Risalah)”. Penulisnya Subiakto Tjakrawerdaja dkk. Diterbitkan oleh Universitas Trilogi, tahun 2016. Buku setebal 130 halaman ini memuat sejarah, id dan logosnya sebagai antitesa demokrasi pasar yang hanya melahirkan para pencuri dan kolaborator.
Buku ini menjadi buku paket trilogi dari 3 buku karya Subiakto Tjakrawerdaja. Warisan bagi pemikir kebangsaan dan kenegaraan. Warisan yang lebih berharga dibanding kursi dan kekuasaan yang tidak pro rakyat.
Realitas ‘Demokrasi Pancasila’ Saat Ini
Kalau ada yang bertanya, apa inti dari ‘Demokrasi Pancasila’ yang tengah dikembangkan oleh negara pada saat ini? Maka jawabnya jelas. Hanya tradisi gotong-nyolong. Demokrasi Pancasila yang jauh dari makna demokrasi itu sendiri. Tak percaya? Lihat saja dari penuhnya penjara akibat KPK. Bahkan berdasar data KPK, dicatat sebanyak 100 kepala daerah telah ditangkap karena terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Semua itu terjadi karena ada realitas yang dapat dirasakan hingga saat ini. Setidaknya ada 16 realitas yang ada. Keenambelas realitas tersebut, ternyata jauh dari makna Demokrasi Pancasila sesuai harapan konstitusi Indonesia, di mana mereka adalah sebagai berikut.
Pertama. Kedaulatan ada di tangan elit rakus. Kedua. Keputusan politik berdasarkan kepentingan penguasa. Ketiga. Cara pengambilan keputusan melalui voting dan jual-beli suara. Keempat. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi. Selebihnya semua partai politik menjadi milik keluarga. Kelima. Tidak diakui adanya hak warganegara. Yang ada hanya kewajiban saja.
Keenam. Tidak menghargai hak asasi manusia. Ketujuh. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan kritik yang membangun. Kedelapan. Tidak menganut sistem prestasi dalam pemilihan pelayan warga negara. Kesembilan. Pemilu dilaksanakan dengan modal hutang dan curang. Kesepuluh. Memelihara diktator mayoritas dan tirani minoritas;
Kesebelas. Mendahulukan kepentingan asing dan aseng. Keduabelas. Pro konglomerasi. Ketigabelas. Hanya bertumpu pada pertumbuhan minus pemerataan. Keempatbelas. Menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kelimabelas. Meninggalkan asas konsensus berbasis konstitusi. Keenambelas. Polri, TNI dan BIN ikutan berpolitik praktis dan berbisnis plus jadi centeng konglomerat.
Demokrasi Pancasila Salah Arah
Pada intinya, baik secara ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka ‘Demokrasi Pancasila’ yang sedang kita jalani demikian komprehensif. Sayangnya ‘Demokrasi Pancasila’ tersebut merupakan Demokrasi Pancasila yang salah arah. Hal ini karena hanya menciptakan kemiskinan, ketimpangan, kepengangguran, kebodohan, ketergantungan dan kecemasan-kesakitan yang stabil di akar rumput. Bukan kesentosaan dan kebaikan sebagaimana harapan konstitusi.
Tentu, segelintir elitenya dalam posisi sebaliknya. Makin kaya dan terlindungi plus bahagia di tengah derita sesama. Intinya, ini buku keren di antara yang tak keren. Sayang, tak dibaca elite dan tak dimengerti ilmuwan. Ia terbang sendiri mengangkasa di pucuk-pucuk katulistiwa.
Siapa tertarik membaca dan mempelajarinya, bisa kontak saya.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. M. Yudhie Haryono