Ada banyak slogan yang pernah mengisi perbendaharaan kosa kata kita beberapa waktu lalu. Seperti misalnya: NKRI Harga Mati atau Saya Indonesia Saya Pancasila. Slogan ini tentu saja baik, karena seperti hendak menjadikan semua anak bangsa menjadi agensi negara dan Pancasila.
Hanya saja pertanyaannya, benarkah kini kita telah hidup di negara Pancasila, sehingga seluruh anak bangsa diminta menjadi agensi Pancasila. Kemudian seperti apa wujud riil dari bangsa Pancasila? Dan siapa yang paling bertanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan bangsa-negara Pancasila?
Lima Realitas Negara Yang Jauh Dari Pancasila
Melihat kondisi negara saat ini, ada lima realitas yang ternyata membuat bangsa ini jauh dari Pancasila. Pertama. Hadirnya perundangan dan praktek-praktek ekonomi-politik yang terus mengkhianati Pancasila. Kedua. Kedaulatan negara dan warganya yang semakin hilang karena ketiadaan UU Keamanan Nasional dan badan atau lembaga negara yang konsen mengurus hal tersebut.
Ketiga. Menjamurnya produk budaya asing dan meredupnya budaya Nusantara berbasis Pancasila. Keempat. Hadirnya praktik-praktik pendidikan nasional yang melemahkan derajat kemerdekaan, kebersatuan, keberadilan, kebahagiaan dan keberindahan bernegara Pancasila. Kelima. Munculnya fenomena fundamentalisme ideologi lain atau juga keagamaan yang menjauhi Pancasila.
Menariknya dari kelima realitas tersebut, pemerintah memiliki peran paling sentral pada empat realitas pertama yang membuat negara jauh dari Pancasila. Komitmen pemerintah dalam mewujudkan negara Pancasila melalui perundang-undangan dan tata cara pengimplementasianya, demikian rendah dengan hadirnya realitas yang ada. Sementara itu untuk realitas terakhir, peran sentral dimiliki oleh warga negara. Namun demikian upaya menjauhkan negara dari Pancasila pada realitas terakhir, dapat dikatakan tidak semasif empat realitas pertama.
Wujud Negara Pancasila Yang Seharusnya
Negara Pancasila semestinya adalah kesadaran dan praktik melindungi segenap tumpah darah (ekosistem di tanah, laut dan udara) yang dalam perekonomiannya memastikan aturan tata kehidupan adil, sejahtera, berkelanjutan dan semesta karena dikuasainya kekayaan publik oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas, minyak, bandara, pelabuhan, tol, rumah sakit dan sekolahan.
Dus, tujuan politik Pancasila adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih martabatif, baik bersama seluruh warga di dalam negeri maupun bersama negara-negara lainnya. Selanjutnya, politik Pancasila hadir dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang merdeka, adil, modern, mandiri dan martabatif. Dengan begitu, politik Pancasila akan selalu membantu untuk menganalisa dan memecahkan problema korelasi resiprokal antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada demi kebahagiaan bersama.
Penekanan adanya korelasi resiprokal ini menghindarkan pemahaman politik Pancasila yang sering diredusir menjadi hanya sekadar hasrat, perilaku dan motif individu dalam bernegara seperti 10 tahun terakhir sehingga melahirkan warga (semuanya) koruptif, ilusif dan amoral.
Karenanya, praktik negara Pancasila itu adalah jika keadilannya menguasai pemerataan. Dan, pemerataannya berdimensi keindahan. Dan, keindahannya melampaui kekuasaan. Dan, kekuasaannya memiliki kemartabatan. Dan, kemartabatannya menternak kearifan. Lalu, kearifannya bersendi keadilan sosial bagi seluruh, ya seluruh warga negara.
Mewujudkan Pancasila Sebagai Kewajiban Bersama
Negara Pancasila pada dasarnya merupakan ide cemerlang para revolusioner saat mendirikan negara. Sayangnya kini para pewarisnya telah mereduksinya dengan menukar ke ide kopi kolonial. Jika Tan pernah memimpin rakyat miskin dengan gagasan-gagasan besar, elite hari ini memimpin kita dengan gagasan kecil yaitu melalui menumpuk hutang.
Semboyannya “kaos oblong dan sandal jepit, kami berbohong agar kalian terjepit.” Sementara itu Tan memiliki semboyan: “Gerpolek.” Dalam Gerpolek, yang merupakan akronim dari gerilya, politik dan ekonomi, Tan Malaka membahas strategi militer yang seharusnya dan konsep pergerakan pada umumnya yang harus dilakukan oleh seorang gerilyawan.
Tan selalu mengingatkan rakyatnya bahwa untuk menjadi diri bangsanya sendiri, harus memahami tujuan sebenarnya negara Indonesia didirikan. Tan, setidaknya menjelaskan bahwa perang purba maupun modern bukan hanya milik para tentara, tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat agar Indonesia tidak bergantung pada bangsa lain. Termasuk dalam mewujudkan negara Pancasila tentu saja. Tidak bisa diserahkan kepada pemerintah saja. Perlu komitmen semua pihak. Semua harus dapat menjadi agensi Pancasila, yang raya tentunya.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono