Menghadirkan sosok Indonesia yang dicita-citakan, memerlukan waktu dan perjuangan yang tiada henti. Dimulai dari perang Jawa, Sumatra, dan wilayah Nusantara lain, disubsidi lewat Sumpah Pemuda dan dikokohkan via Proklamasi 1945. Semua membawa cita-cita Indonesia yang jelas. Melenyapkan penjajah dan membangun jiwa (mental, karakter, kepribadian) baru membangun badan (infrastruktur, struktur, fisik).
Sementara itu pada rentetan mula Indonesia, dimulai dengan menetapkan menara Pancasila. Bung Karno dan para founding father lain, yang membuat pondasinya. Pramoedyalah yang membangun temboknya. Kitalah yang akan memastikan terpasang atapnya agar tugas presiden berikutnya tinggal membawa kejayaan-kemakmuran-keadilan di dunia.
Problematika Indonesia Tidak Ada Yang Menjalankan Pancasila
Semua itu seharusnya dapat membuat negara Indonesia tumbuh berjalan sesuai rencana. Bila ada masalah dan problema terkaitnya, maka seharusnya dapat dipecahkan dengan cara Indonesia, dengan jalan Indonesia dan dengan gaya Indonesia. Jalan, cara dan gaya Indonesia adalah Pancasila. Satu yang lima dan lima yang satu.
Hibridasi tersebut merupakan bentuk dari sebuah mental konstitusional. Mental konstitusional adalah: berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah atau bergotong royong dan berkeadilan.
Sayangnya problema tersebut menjadi sebuah problem baru. Sebab hingga kini yang menjalankan Pancasila tidak ada. Indonesia tidak memiliki sebuah institusi berwenang yang dapat mengupdate pelaksanaan Pancasila sesuai jamannya, mengontrol pelaksanaan Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai evaluasi kebijakan tata kelola pemerintahan. Bahkan yang ada, adalah mereka yang mengkhianatinya. Semua itu membuat Indonesia Raya, menjadi jauh panggang dari api.
Uniknya tidak adanya institusi berwenang ini sejak mula Indonesia. Pancasila seperti hanya didesain untuk tidak dilaksanakan, atau dipercaya dapat tumbuh dengan baik tanpa perawatan intensif menghadapi serbuan ideologi dari luar. Kalaupun ada institusi yang mengelola Pancasila kemudian seperti BP7 dan kini BPIP, semua tidak lebih hanya menjadi alat kekuasaan guna melegalkan kebijakan pemerintah menjadi seakan telah melaksanakan Pancasila. Padahal mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol pelaksanaan Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai evaluasi kebijakan tata kelola pemerintahan.
Hal ini terbukti dengan merujuk pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu sebagai contohnya. Menurutnya, rekapitulasi perkara pengujian Undang-Undang (UU) yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2003 hingga saat ini, terdapat 1.449 perkara yang diajukan. Dari jumlah tersebut, MK telah membuat 1.401 putusan. Sebanyak 269 atau sekitar 19,2 persen gugatan dikabulkan. Informasi tersebut menunjukkan bila masih banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Dan tentu juga dapat dipastikan akan bertentangan dengan Pancasila.
Menariknya, pengujian Undang-Undang (UU) yang teregistrasi di MK tersebut, tidak dilakukan oleh BPIP. Padahal BPIP memiliki misi jelas yaitu menjadikan Pancasila teraktualisasikan dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sini jelas BPIP hanya menjadi sebuah diorama pemerintahan.
BPIP Seharusnya Dikelola MPR
Adanya ketidakberanian BPIP dalam melaksanakan misinya, sesungguhnya dapat dipahami karena BPIP didirikan dan berada di bawah pemerintah. Ada banyak kepentingan yang harus diakomodir BPIP dalam melaksanakan misinya. Karena itu sudah seharusnya BPIP tidak lagi di bawah pemerintah, namun di bawah MPR.
Dengan di bawah MPR, BPIP akan mampu melaksanakan misi yang telah diusungnya tanpa ‘ewuh-pakewuh’ dengan pemerintah yang mengangkatnya. BPIP dapat menjadi badan otonom MPR atau lainnya, namun yang penting menjadi representasi MPR dalam perannya menjamin tegaknya kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi dalam penyelenggaraan kenegaraan. Dengan peran yang dimilikinya itu sesungguhnya membuat MPR menjadi lebih pantas mengelola BPIP.
Tanpa hal itu semua, hanya akan terulang kasus BP7. Pada masa lalu keberadaan BP7 tidak bisa mencegah pemerintah yang mendirikannya yaitu ORBA untuk tidak melaksanakan political decay, state capture dan economy control kepada pihak asing. BP7 hanya bekerja dipinggiran yang ternyata hanya membuat masyarakat terbelah. Karena itu ketika pemerintah ORBA jatuh — sekalipun tentu saja keliru — Pancasila dianggap menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan tidak berpijak ke bumi. Karena itu berdasar publikasi survei CSIS, 10 persen generasi milenial pernah dicatat setuju mengganti Pancasila dengan ideologi lain
Kini bila BPIP terus dilanjutkan di bawah pemerintah, maka kasus BP7 dapat dipastikan terulang. Dan ini tentu menjadi sebuah pengulangan sejarah yang tentu tidak perlu.
Sembilan Problema Yang Dihadapi Indonesia
Agar sosok Indonesia tetap hadir sebagaimana yang dicita-citakan, sekalipun hingga kini tidak ada yang menjalankan Pancasila, maka identifikasi permasalahan menjadi perlu lebih difokuskan untuk memecahkan warisan penjajahan. Ada kurikulum kolonial dalam bentuk 9K yang menjadi problema pada saat ini, yaitu: 1. Keterjajahan baru. 2. Kemiskinan. 3. Kepengangguran. 4. Ketimpangan. 5. Ketergantungan. 6. Kebodohan. 7. Kesehatan dan kesakitan. 8. Konflik. 9. Kepunahan.
Kesembilan problema tersebut kini perlu dihadirkan solusinya. Semua untuk menjadikan Indonesia Raya terwujud. Sebuah peradaban baru yang pantas dijadikan kekasih, rumah, sorga sekaligus sekuntum mawar yang semerbak indah.
Penghadiran solusi tersebut akan lebih baik, jika disertai institusi berwenang dalam menjalankan Pancasila juga segera hadir. Institusi berwenang di bawah MPR, akan dapat memastikan negara Indonesia segera tumbuh berjalan sesuai rencana.*
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono