IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Revolusi Pembangunan Berkesinambungan Akhiri Disparitas Kesenjangan Akut

Pada awalnya pertumbuhan ekonomi dimaknai sebagai proses kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Karena itu, perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil, atau dengan kata lain bila terjadi kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi ini, menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.

Hingga saat ini banyak negara menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesuksesan negara. Selain itu juga sebagai indikator keberhasilan kinerja pemerintah serta jajarannya dalam menciptakan kehidupan yang sejahtera dan menuju keadaan yang lebih baik dari waktu ke waktu bagi rakyatnya.

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator kesuksesan negara sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Hal ini karena ada realitas yang dialami, di mana terdapat pertumbuhan penduduk yang tinggi tetapi penyebarannya kurang seimbang di antara kota-desa dan antara pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Sebagai akibatnya, menghambat pemanfaatan sumber daya alam dan juga sumber-sumber manusia Indonesia secara optimal.

Pertumbuhan Ekonomi Hasilkan Dikotomi Masyarakat

Adanya ketidakseimbangan dalam penyebaran penduduk ini, di antara kota dan desa telah menimbulkan berbagai masalah yang berhubungan dengan urbanisasi. Sebagai akibat terlalu pesatnya peningkatan penduduk kota-kota di Indonesia maka tumbuh perumahan liar di atas tanah-tanah kosong, tanpa izin dari pemiliknya. Tentu saja, tindakan illegal itu bukan saja merugikan hak orang lain, tetapi juga merusak rencana kota dan merusak keindahan kota.

Hilir dari konsentrasi penduduk di kota-kota yang terlalu cepat dan tidak diimbangi dengan fasilitas yang memadai akan memproduksi lahirnya kejahatan. Seperti misalnya: pencurian, pencopetan, penipuan, pelacuran, kenakalan anak-anak, dan kekumuhan.

Konsentrasi penduduk di kota-kota tersebut, juga menghadirkan filosofi baru akan keadaan ini. Seperti tumbuh orang kaya baru, gaya hidup baru dan kota-kota baru yang berderap dengan pembanguan masif. Hadirlah kemudian berbagai jenis pusat pertumbuhan, antara lain kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), kawasan industri (KI), dan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN).

Pertumbuhan Indonesia Berbasis Utang Dan Investasi Asing

Simon Kuznets pernah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai keadaan di mana suatu negara mampu meningkatkan hasil produksinya berdasarkan kemajuan teknologi yang diiringi juga dengan penyesuaian ideologi yang ia miliki. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi berbasis kemampuan negara yang ada. Selain itu ada tiga nilai dari inti pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan (pembangunan). Ketiganya adalah yaitu Kecukupan (Sustenance), Harga Diri (Self-Esteem), serta Kebebasan (Freedom).

Sayangnya, pola pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berlaku di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bertumpu pada utang dan investasi asing serta jauh dari penyesuaian ideologi yang dimiliki.

Padahal, jika suatu negara memilih investasi asing maka akan dipaksa untuk menggunakan produksi asing, tenaga ahli asing, dan teknologi asing dalam pembangunan infrastruktur. Akibatnya menjadi sangat fatal, karena akan berlangsung: 1. Ketergantungan semua aspek. 2. Ketidakseimbangan manfaat. 3. Ketidakseimbangan regional. 4. Ketidakmandirian pembangunan. 5. Ketidakserapan tenaga kerja. Dengan kata lain inti pembangunan yaitu Kecukupan (Sustenance), Harga Diri (Self-Esteem), serta Kebebasan (Freedom), menjadi tidak tercapai.

Obral SDA Mengorbankan Sumber Ekonomi Riil dan Ekonomi Masa Depan

Para pendiri republik ini, jauh-jauh hari telah mewanti-wanti agar kita tak mudah menggadaikan masa depan anak-cucu demi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan. Harapannya agar kita tidak berhutang semaunya. Hutang hanya akan mengobarkan sumber ekonomi riil (present real resources) dan sumber ekonomi masa depan (future real resources).

Praktis dari obral Sumber Daya Alam (SDA) adalah modus bayar utang ekonomi riil dan ekonomi masa depan. Akibatnya kita hanya mewarisi net transfer yang memberatkan nasib warga negara dan merusak kemerdekaan dengan ketergantungan. Bukankah realitas yang ada dari proyek liberalisasi saat ini yaitu: utang (mata uang), impor (makanan) dan infrastruktur (prodak), sudah mantap berlangsung?

Menjadi tidak berlebihan jika kita kini dan seterusnya mengalami disarticulated politic-economic structure. Semua itu harus segera ditanggulangi dengan merubah cara berpikir, paradigma dan praktek pembangunan yang berfilsafat pertumbuhan menjadi pemerataan. Karena pembangunan yang merata ini merupakan amanat konstitusi agar disparitas ekonomi antarwilayah (kota-desa, Jawa-luar Jawa) di Indonesia menghilang. Di sini kita perlu praktik revolusi pembangunan yang berkesinambungan.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

 

Bagikan ya

Leave a Reply