IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Penyebab Perubahan Agensi Tidak Menghapus Struktur Ekonomi Kolonialis

Elite politik telah berubah, bahkan sebagian telah berganti. Namun uniknya, struktur ekonomi malah semakin stabil kembali ke arah struktur ekonomi kolonialis. Struktur ekonomi kolonialis adalah struktur ekonomi yang tidak menempatkan hadirnya konglomerat pribumi berperan besar dalam perekonomian nasional, sebagaimana yang dilakukan Belanda dahulu. Belanda lebih memilih memberi kesempatan hadirnya para konglomerat Cina daripada para konglomerat pribumi.

Tidak percaya? Mari kita lihat. Meminjam tesis Richard Robinson (1986), dicatat tentang masalah rente birokrasi dan kapitalisme birokrasi. Tercatat sampai kini, ternyata road map industrialisasi yang dikembangkan Soeharto bersama kapitalis asing masih berjalan aman via utang di sektor infrastruktur. Road map industrialisasi tersebut, membuat konglomerat pribumi tidak memiliki pijakan kuat untuk menompang perekonomian negara.

Sebenarnya banyak upaya yang dilakukan para elite dalam memelihara dan memperkuat kelas ini. Seperti misalnya: 1. Melalui praktik membagi-bagikan kontrak pembangunan. 2. Memberikan kredit dan menghadiahkan hak monopoli, sembari melindungi para pengusaha tersebut dari terjangan kapital internasional. 3. Adanya bantuan negara dan dipelopori beberapa konglomerat semu (misalnya: Lippo, Sinar Mas, Astra, Jarum, Gudang Garam, Garuda Food, Agung Podomoro, Arta Graha, MNC) yang membuat kapital domestik memperoleh kesempatan melakukan investasi di berbagai sektor penting. Namun sayangnya semua itu seperti tidak cukup.

Penyebab Konglomerat Pribumi Mati

Saat elite baru muncul, relasi dengan konglomerat semu yang pada dasarnya didasarkan pada adanya motif sama-sama diuntungkan, ternyata terus dilanjutkan. Hal ini karena mereka merupakan kelompok minoritas yang banyak menguasai sumber-sumber ekonomi yang berdampak pada investasi di Indonesia sejak masa kolonial. Di sisi lain mereka tetap mendapat akses tak terbatas terhadap perbankan karena dianggap sama-sama menguntungkan. Siapa tak kenal sepak terjang Tjia Kian Liong, Liem Soe Liong, Budi dan Michael Hartono, Susilo Wonowidjojo, Boenjamin Setiawan, Mochtar Riady, Peter Sondakh, Sukanto Tanoto, Tahir, Bachtiar Karim, Putra Sampoerna, Theodore Rachmat, Murdaya Poo, Kusnan dan Rusdi Kirana, Eka Tjandranegara, Martua Sitorus, Eddy Katuari, Ciputra, Ciliandra Fangiono, dan Husodo Angkosubroto?

Hary Tanoesoedibjo, Edwin Soeryadjaya, Low Tuck Kwong, Harjo Sutanto, Alexander Tedja, Sjamsul Nursalim? Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, Irwan Hidayat, Sudhamek, The Ning King, Jogi Hendra Atmadja, Prajogo Pangestu, Handojo Santosa dan Trihatma Haliman. Para trader tersebut menguasai sekitar 7000 triliun di semua lini bisnis lokal. Merekalah dapat menentukan siapa presiden dan kabinet berikutnya. Mereka juga yang bahkan dapat menentukan bintang dan panglima TNI/Polri.

Dengan adanya akses pendanaan perbankan tak terbatas tersebut, membuat mereka dapat membangun berbagai perusahaan besar yang berbasis dari hulu hingga ke hilir dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Selain itu pemerintah juga terus membantu akses pemasaran, distribusi, transportasi hingga kemudahan untuk menjual produk mereka ke manca negara, atau  menghadirkan regulasi khusus kepada mereka untuk menunjang kelancaran bisnisnya. Sayangnya hal tersebut semua, tidak dilakukan untuk konglomerat pribumi. Ada perbedaan keberpihakan yang terjadi. Perbedaan keberpihakan tersebut bahkan mengarah pada penerapan praktek radikalisme terhadap distribusi ekonomi yang ada.

Tidak berlebihan bila persekongkolan konglomerat semu dengan para elite baru tersebut, kemudian menghasilkan tiga hal. Pertama, akses keuangan dan jaringan korporasi dari kapital kaum perantauan Cina di Hongkong, Taiwan, Thailand, Singapura dan Malaysia telah menyediakan bagi mereka sumber kapital keuangan serta kemitraan korporasi yang umumnya tidak tersedia bagi Pribumi. Kedua, sebagian besar grup bisnis semu mampu melakukan integrasi ke tingkat korporasi dengan kapital internasional. Ketiga, hancur dan matinya konglomerat pribumi di segala lini.

SDA Hilang dan Warisan Hutang Terus Ditanggung

Persekongkolan tersebut ternyata juga berakibat hilangnya SDA yang dimiliki bersamaan dengan UU yang harus ditandatangani. Seperti misalnya batu bara, minyak, kopra misalnya. Bahkan masih ditambah adanya banyak warisan utang yang harus ditanggung.

Karena itu sudah saatnya road map industrialisasi yang dikembangkan Soeharto bersama kapitalis asing yang masih berjalan aman via utang di sektor infrastruktur, perlu segera dievaluasi. Semua itu perlu dilakukan agar road map industrialisasi menurut konstitusi dapat dijalankan dengan baik. Harus dipahami bahwa praktek radikalisme bukan hanya terkotak di ranah agama semata, namun di semua sektor seperti ekonomi dan hukum misalnya. Khusus radikalisme ekonomi menjadi ancaman paling nyata negara, pada saat ini.

Karena itu jangan sampai radikalisme ekonomi yang tidak berbasis pada konstitusi dan Pancasila tersebut, dapat terus eksis dan bahkan merusak struktur negara yang ada. Sudah saatnya di bumi Pancasila ini, kita hidup sebagaimana harapan para founding fathers dalam menyusun negara baru bernama Indonesia.*

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply