Kasus penangkapan Irjen Pol Teddy Minahasa atas dugaan keterlibatan jual beli narkoba oleh Propam Polri beberapa waktu lalu, menyisakan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang polisi yang dididik dan dibiayai negara dan diberi kedudukan tinggi menghianati tugas pokok dan fungsinya sendiri. Apakah ada yang salah dengan sistem pendidikannya selama ini?
Di Indonesia, kasus memilih menghianati tugas pokok dan fungsinya sendiri ternyata tidak hanya berhenti pada kasus tersebut saja. Bahkan dapat dikatakan jika kasus serupa, telah berlangsung di seluruh lini kehidupan bangsa. Semua tergambar dalam kondisi Indonesia yang kian hari kian jauh dari basis aslinya, yaitu Konstitusi dan Pancasila. Seperti misalnya adalah sebagai berikut.
- Politisi
Politisi pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi melakukan tugas-tugas yang menjadi prasyarat negara bisa ditata dengan baik. Namun dalam realisasinya, banyak dari mereka yang hanya memastikan karpet merah dipasang, saat para penjajah datang sambil mengedit undang-undang yang melindunginya dari amok warganegara. Menjadi wajar bila Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa berdasarkan hasil riset, menunjukkan hingga saat ini sekitar 80 persen aset negara telah dikuasi bangsa asing.
- Ekonom
Ekonom pada dasarnya memiliki tugas menyediakan nasihat untuk usaha, kelompok kepentingan dan pemerintah untuk merumuskan solusi untuk menunjukkan atau memproyeksikan masalah ekonomi dan usaha Indonesia. Ia harus memiliki jiwa dan karakter yang tidak memihak pihak manapun. Hal ini sangat penting karena kredibilitas dari ide cemerlangnya langsung berpengaruh kepada masyarakat luas. Sehingga bagaimana pun kondisinya, ia harus berpihak hanya kepada kepentingan masyarakat bukan individu ataupun kelompok, sehingga kondisi rakyat yang makmur akan tercapai sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh para ekonom profesional.
Sayangnya dalam realisasinya, tak sedikit dari mereka hanya bekerja menghitung berapa uang yang beredar, berapa jumlah perusahaan dan berapa keuntungan dari bisnis asing dan aseng. Mereka masuk kategori “working class” yang tak lebih mulia dari polisi cepek di jalan-jalan pertigaan dan perempatan, karena mereka hanya mengedepankan utang, gadai dan obral. Tidak berlebihan jika hutang negara semakin hari semakin besar tanpa solusi mengatasinya.
- Angkatan Bersenjata
Angkatan bersenjata pada dasarnya merupakan perangkat negara yang memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas negara dari serangan dalam maupun dari luar negeri. Namun dalam realisasinya, tidak sedikit dari mereka yang juga mengambil peran menjaga aset-aset asing dan aseng dari usaha nasionalisasi yang dituntutkan warganegara. Mereka juga banyak menjadi backing judi, narkoba, illegal logging, illegal fishing, money laundring dan bisnis haram lainnya. Kelompok ini tentu bukan kelompok merah putih atau kelompak yang berbasis Sapta Marga lagi.
- Presiden dan Kabinet
Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari sesuai dengan konstitusi dan Pancasila. Tugas yang mulia ini, ternyata berdasar potret Indonesia saat ini didapati realitas bahwa peran yang mereka lakukan berlawanan dengan konstitusi dan Pancasila. Mereka lebih memilih memastikan bekerjanya satu kurikulum dari hilir neoliberalisme yaitu freedom financial. Roadmapnya: perbankan, asuransi, investasi, utang, kurs, valuta asing, devisa dan penetapan mata uang internasional yang memosisikan warganegara menjadi warga miskin serta jauh dari cita-cita kemerdekaan.
- Mahasiswa, Ilmuwan, Elite Agamawan dan Sastrawan-Budayawan
Tugas mahasiswa pada dasarnya sebagai agent of change suatu bangsa. Ilmuan bertugas sebagai pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang potensial di bidangnya. Ia dapat dikatakan sebagai “change maker” atau orang yang membuat perubahan atau agar perubahan didalam masyarakat. Sementara itu tugas agamawan adalah menganalisa masalah tertentu untuk disesuaikan pada pegangan, dan latar belakang agama secara kuat yang dimiliki. Sedangkan tugas sastrawan-budayawan adalah bersetia dengan visi estetik dan ideologisnya.
Sayangnya semua tugas mulia tersebut, dalam realitasnya jauh dari harapan. Banyak dari mereka hanya berlomba-lomba menghilangkan harga diri (mental konstitusional) sebagai pintu masuk bagi keberanian korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); sambil memupuk mental oligarki, kleptokrasi, kolonialisasi dan kartelisasi. Padahal, korupsi dari pejabat tinggi merupakan sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan. Dalam peribahasa Latin dikatakan, corruptio optima pessima, pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling jahat dan sadis.
Revolusi Pancasila dan Konstitusi Jadi Solusi
Hadirnya hiper-liberalisme dan ultra-neoliberalisme yang demikian nyata di semua sudut kehidupan tersebut, tentu sangat menghawatirkan. Menjadi wajar bila kemudian ada yang bertanya, “masih adakah waktu mendidik saat semua struktur dan suprastruktur rusak, jahiliah dan sakit?”
Jawabnya tentu ada. Yaitu dengan menggerakkan revolusi Pancasila dan konstitusi tanpa menghitung kalah menang. Pancasila dan Konstitusi harus dapat menjadi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan dalam bersosial dan bernegara. Ini menjadi kunci utama gerakan revolusi yang ada. Jika terlaksana, maka struktur dan suprastruktur yang rusak dapat diperbaiki. Kini, tugas kita hanya untuk memastikan, semua itu dapat segera berlangsung dalam tempo sesingkat-singkatnya.*
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono