IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Menanti Hadirnya Pemimpin Surplus Spiritualitas

Sungguh, waktu telah menjadikan manusia sempurna: akal dan jiwa. Maka, saat terbangun akal-budi dan nalarnya, sesungguhnya ia menyempurna melewati postulat hewan. Seiring waktu, matahari menyapa dengan hangatnya cahaya, sehingga kesadaran cinta dan kasih menetas dengan mengucap “selamat berpikir dan selamat berkarya pada semua.” Inilah waktu untuk menyongsong bangkitnya ordo spiritualitas, manusia spiritual dan spiritual pemimpin negara (negarawan). Tentu, kita berharap agar arus besar ini tumbuh membesar, menghajar para penjahat dan penjajah, para oligark di istana.

Memang, kini begitu kuatnya oligarki. Seperti tak ada cela. Sempurna mereka menghina republik kita. Lalu kia beranya serius, “adakah jalan menundukannya?” Kujawab jujur: “Ada.” Jawaban sedang ditumbuhkan. Dari dulu. Dan, kini digelorakan kembali. Yaitu pemimpin dan komunitas epistemik spiritualis. Dengan teorama itu, kami bernalar, bekerja dan berdoa yang diucapkan oleh tutur atau kata, disertai dengan suatu perhatian dan rasa batiniah. Nalar, kerja dan doa menjadi satu kesadaran dalam pikir, ingatan dan kehendak memerdekakan republik dari keji dan jahatnya oligarki.

Spiritualitas Sebagai Amanat Konstitusi

Inilah laku, “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur.” Inilah pasukan spiritualitas yang trengginas. Pasukan yang disemogakan agar alam restu. Inilah kerja raksasa perealisasi berkah dan hikmah yang bijaksana. Mereka yang bertuhan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah dan berkeadilan.

Ya. Sesungguhnya spiritual itu ibarat garam dalam sup, penting dan inti. Ia subtansi. Karenanya, ibadah tanpa spiritual akan hambar bagi jiwa; hanya akan menjadi gerakan tanpa dentuman; menjadi mantra belaka. Dus, semua butuh spirit yang menyempurnakan; membutuhkan pasangannya. Terlebih, semua di dunia diciptakan berpasang-pasangan.

Lebih jauh, spiritualitas adalah roadmap luas dengan berbagai dimensi dan perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan (koneksitas) kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang disertai dengan usaha pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat universal dan menyentuh. Ia yang merasa menjadi ‘laku Tuhan’, ‘anak Tuhan’, ‘pasukan Tuhan’ dan manusia kebertuhanan. Inilah ordo yang transendensif melewati batas-batas manusia biasa. inilah sikap kritis atas berbagai keadaan yang dirasa kurang pas dan ideal berdasar keilahiyan yang transendentif.

Karenanya, spiritualitas membentuk manusia spiritual, pemimpin berjiwa spiritualis dan manusia pancasilais agar mereka tidak menjadi sombong dengan capaian duniawi: harta, tahta, wanita. Manusia ini juga punya mental welas asih dan tak punya kesombongan spiritual dan intelektual karena ia tersambung dengan yang tidak tak terpikirkan.

Selebihnya, kurikulum spiritualitas mengajarkan kita untuk terus memperbaharui perahu, karena lautan yang ada itu sangat dalam dan luas; terus menyempurnakan pesawat, karena jagat raya begitu besar dan menakjubkan; terus mencari perbekalan yang lengkap, karena perjalanan itu sangat jauh dan panjang; terus kurangi beban, karena rintangan itu amatlah sulit untuk ditaklukan; terus ikhlas dalam beramal, karena yang menilai baik dan buruk adalah ia yang maha melihat; terus lakukan amalan sadar, sabar, syukur, ikhlas, semangat, ceria dengan penuh kenalar dan kesentosaan, karena kita tak begitu paham kapan pulang dan kembali ke haribaanNya.

Sudah Saatnya Menghadirkan Karakter Spiritualisme

Kini, inilah saat terbaik menghadirkan kembali mental, karakter, kurikulum, nilai-nlai, semangat, sosok, komunitas dan cita-cita manusia spiritualis, pemimpin berjiwa spiritual dan kepemimpinan berkarakter spiritualisme. Mengapa? Sebab ini zaman kalabendu, zaman kegelapan. Zaman sukar, maha sulit atau sengsara dan dipenuhi angkara murka. Yaitu zaman yang dirasakan dengan berbagai kekacauan dan keterbalikan. Zaman keganjilan yang terjadi dalam masyarakat dan negara. Selain itu, dirasakan pula bahwa tata pemerintahan dan pembangunan-pembangunan lainnya seperti pada hukum, ekonomi dan budaya cenderung menutup ruang serta peluang untuk menjamin, menghormati, juga memenuhi kebutuhan dasar warganya.

Zaman ini makin menjadi-jadi ketika batin manusia banyak tidak teguh, imannya hancur dan mudah luluh, pendiriannya gampang runtuh dan roboh. Mereka jadi sangat rakus dan serakah tiada tara. Setiap saat dapat dibilang manusia hatinya panas karena terbakar oleh nafsu angkara murka, cemburu, tipsani dan saling fitnah. Banjir hoax dan luber bujer adalah bukti nyata. Selain itu, manusia juga hanya berpikir bagaimana lekas menjadi kaya, serta saling berlomba hidup dalam kemewahan, amoral sehingga banyak bapak lupa anak, banyak anak melawan orang tua, saudara melawan saudara, keluarga saling cidera, perceraian jadi harian dan murid melawan guru, juga sebaliknya.

Di zaman ini, orang idealis serta mulia makin tersia-sia, orang jahat dan bejat mendapat derajad. Yang culas jadi pemimpin yang jahat kelebihan berkat, yang menyuap makin meluap dan yang tak beragama makin jaya.

Kita berharap, dengan munculnya pemimpin bermental spiritual dan manusia spiritualis, negeri ini akan memasuki zaman kalasuba. Yaitu zaman yang memberi harapan, zaman pra gemilang. Sebuah zaman di mana kehidupan mulai tertata, peri-kehidupan dan peri-keadilan makin mengemuka, serta kehidupan rakyat dan negara makin dirakhmati Tuhan sehingga bersatu, berdaulat, adil, makmur dan sentosa menginspirasi semesta. Semoga.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

 

Bagikan ya

Leave a Reply