Habis. Bangsa ini seperti kehabisan manusia Pancasila. Kini, di mana saja dan kapan saja banyak pejabat ditangkap KPK. Kini, siapapun KKN dan berbudaya “nyogok alias suap.” Tak henti-henti kabar dan peristiwa itu terjadi. Malu sudah tak tertradisi, moral sudah hilang sejak mula, akhlak tertinggal di kitab-kitab suci, kesopanan dan keadaban tinggal legenda dan kisah saja.
Saat berbondong-bondong pengusaha ikut berpolitik, dunia kita bukan membaik, tapi sama saja hasilnya. Karena ternyata, sudah ada niat tidak baik dari nalarnya. Defisit negarawan menjadi mengemuka, hilang kemudian bangsawan dan kehabisan manusia paripurna.
Makna Karakter Spiritual Menurut Konstitusi
Padahal, dasar-dasar bernegera Indonesia sudah demikian kokoh dirancang dalam konstitusi agar agensinya berkarakter spiritual. Dalam dasar statis tertulis, “manusia Pancasila itu berketuhanan” yang wajib melakukan empat dasar dinamis. Apa itu? Bertuhan yang melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan.
Artinya, bangsa ini tidak bisa mengaku bertuhan kecuali dengan laku yang jelas: melindingi segenap tumpah darah dan isinya. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat tak terlindungi maka tentu sudah tidak layak mengaku bertuhan.
Kedua bertuhan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat bodoh dan tak bisa sekolah maka bangsa ini tidak layak mengaku bertuhan.
Ketiga bertuhan yang menyejahterakan semua penghuni republik. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat miskin, maka bangsa ini juga tidak layak mengaku bertuhan.
Keempat bertuhan yang menertibkan agar bangsa Indonesia bermartabat di dunia. Dus, jika ditemukan satu saja keputusan publik yang membuat negeri ini tak bermartabat di mata dunia maka sesungguhnya bangsa ini tidak layak mengaku bertuhan.
Satu dasar dinamis ini harus selalu terjilid dengan empat dasar dinamis. Tak boleh sepotong-sepotong, melainkan hibridasi dan saling menopang satu sama lainnya.
Perlu Upaya Merealitaskan Kembali Karakter Spiritual
Dicantumkannya karakter spiritual dalam konstitusi tersebut seharusnya menjadi semangat moral semua warganegara, untuk menjalankan negara ini dengan benar dan tepat. Hal ini karena konstitusi jelas mencatat: “Atas berkat rakhmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Keyakinan ini dikuatkan dalam pasal 9 tentang keharusan sumpah jabatan atas nama Tuhannya. Lalu pasal 29 tentang agama.
Hanya saja sayangnya klaim dan tesis tersebut baru di atas kertas. Belum merealitas. Sebaliknya, disadari sepenuhnya bahwa kepemimpinan berbasis spiritualitas Indonesia sebagai bangsa dan negara sedang berada pada titik nadir. Tanpa martabat. Tanpa azimat. Minus geliat. Karenanya menspiritualkan kembali adalah keniscayaan.
Kini, sudah saatnya seluruh warganegara bahu membahu untuk memiliki kepedulian kepada negara. Merespon segala kebijaksanaan yang ada untuk disesuaikan dan diletakkan secara proporsional sesuai konstitusi. Tidak membiarkan kebijakan yang tidak adil dan hanya membuat lahirnya kemiskinan struktural tumbuh, sebagai contohnya. Selain itu juga tidak membiarkan karakter spiritual menurut konstitusi untuk dikerdilkan atau ditanggalkan dengan karakter non konstitusi. Seluruh warganegara jangan berhenti untuk mewarnai, karena itu merupakan bagian dari upaya terakhir menspiritualkan kembali karakter sesuai konstitusi.(*)
Penulis:
Dr. M. Yudhie Haryono