Di manakah batas gila dan waras itu? Imam Maarif penulis buku puisi ini, memiliki tesis yang unik. Dengan sangat menarik ia mempuisikan kegilaan dan kewarasan dengan alur yang sarat makna. Tak percaya? Berikut petikannya:
Orang gila berjalan di atas imajinasinya/orang waras berjalan di atas normatifnya.
Orang gila berjalan dalam khayalannya/orang waras berjalan dalam pikiran-pikirannya.
Orang gila belajar dari keadaan/orang waras belajar dari pengalaman.
Orang gila makan sembarangan/orang waras sembarang dimakan.
Orang gila membuat perubahan/orang waras menikmati perubahan.
Orang gila tak memikirkan tempat/orang waras berebut tempat/dst. (hal. 36).
Ini buku puisi yang sudah saya baca berulang. Setidaknya sudah tiga kali. Keren. Imajinatif. Nakal. Melampau realitas. Bersemayam di centripetal kalimat dan centrifugal makna. Buku berjudul Antoligi Puisi Imam Maarif ini di luar kelaziman: puisinya tak ada judulnya. Diterbitkan oleh Teras Budaya Jakarta, tahun 2022, setebal 78 halaman plus, berISBN: 978.623.6244.586. Sangat direkomendasikan untuk dibeli, dibaca, dinikmati dan dikoleksi.
Puisi-puisi ini datang saat selesai memutilasi pikiran dan warisan daripada rezim Soeharto. Sayang pengganti-penggantinya lebih dari para Kurawa. Mereka berkuasa ketika semua lengah. Dan kini, mereka menyiksa rakyat Indonesia lewat pasar bebas dan perampokan SDM dan SDA. Sampai nanti republik ini bubar binasa. Mereka memang tak pernah berakhir. Hanya berubah bentuk. Merekalah sang kumpeni itu. Berwajah lokal, bermental emperor loakan.
Membaca puisi ini, saya menjadi teringat dengan rayuan puisi kepadanya: “Adakah yang lebih romantis dari menggendongmu di pematang sawah. Lalu, kita mancing ikan di empang pinggir sungai. Ikannya dibakar dan dinikmati sambil bercerita tentang arkeologi candi-candi Nusantara. Lalu kutepuk-tepuk pantatmu setelah kutaruh es krim dan roti bakar yang hangatnya sehangat jiwamu.”
Memang benar, Imam Maarif dikenal sebagai seniman deklamator dan aktor teater. Imam juga mengusung genre baru dalam puisi yakni puisi tanpa judul. Sebab, menurut Imam, judul membelanggu kreatifitas seorang penyair. Judul itu menyempitkan imajinasi. Baginya tanpa judul itu semakin seksi.
Tanpa judul itu mengeksplotasi kemungkinan melakukan pembalikkan makna (displacing of meaning), penyimpangan makna (distorting of meaning) dan penciptaan makna (creating of meaning) dalam membangun puisinya. Imam juga dengan berani mempermainkan disposisi subyek dan obyek, juga sebaliknya dalam puisi-puisinya yang secara semantik melanggar logika.
Tentu saja, penyair ini mengisi kekosongan dramawan besar Rendra yang telah tiada. Sastrawan cum akademikus Maman S Mahayana memberi komentar bahwa buku puisi ini: “paradok dan olok-olok“. Bagi saya sendiri, puisi-puisi Imam ini kata yang membebaskan. Dari apa? Dari apa saja.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono