Mewujudkan Pancasila dan cita-cita nasional Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak tantangan yang kini harus dihadapi. Pertama, karena bangsa ini tidak lagi mengenal Mental Pancasila. Mental Pancasila adalah mental anti mayorokrasi (diktator mayoritas) dan mental anti minorokrasi (diktator minoritas). Mental anti liberalisme (neoliberal) dan mental anti komunisme (fasis-feodalis). Mental ini bersemayam dalam sosialisme, humanisme dan multikulturalisme yang stabil dan berkelanjutan. Mental revolusioner ini memiliki dua mata. Yaitu, ke luar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme. Ke dalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan kartelisme.
Kedua, banyak lembaga dan agensi lokal yang bersekutu dan mendukung kembalinya kolonialisme di Indonesia. Ketiga, kolonialisme yang bermuara pada keserakahan ternyata juga dilakukan oleh sebagian anak bangsa sendiri. Pelakunya adalah mereka yang lupa diri atau mereka yang serakah.
Keempat. Pemerintah ternyata dicatat memiliki peran paling sentral membuat negara jauh dari Pancasila. Hal ini terlihat dari hadirnya perundangan dan praktek-praktek ekonomi-politik yang terus mengkhianati Pancasila. Kedaulatan negara dan warganya yang semakin hilang karena ketiadaan UU Keamanan Nasional dan badan atau lembaga negara yang konsen mengurus hal tersebut. Selain itu, menjamurnya produk budaya asing dan meredupnya budaya Nusantara berbasis Pancasila tanpa penanganan berarti. Terakhir, hadirnya praktik-praktik pendidikan nasional yang melemahkan derajat kemerdekaan, kebersatuan, keberadilan, kebahagiaan dan keberindahan bernegara Pancasila.
Karena itu mewujudkan Pancasila dan cita-cita nasional Indonesia kini tidak bisa diserahkan kepada pemerintah semata. Perlu komitmen bersama semua pihak. Semua kini harus dapat menjadi agensi Pancasila. Agensi yang mampu menggerakkan revolusi Pancasila dan konstitusi. Di mana goalnya adalah dapat mewujudkan konstitusi menjadi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan dalam bersosial dan bernegara. Goal tersebut juga harus dapat menghilangkan tata pemerintahan dan pembangunan-pembangunan lainnya seperti pada hukum, ekonomi dan budaya yang pada saat ini cenderung menutup ruang serta peluang untuk menjamin, menghormati, juga memenuhi kebutuhan dasar warganya.
Salah satu caranya adalah dengan segera menghadirkan pemimpin dan komunitas epistemik spiritualis. Mereka yang bertuhan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah dan berkeadilan. Setelah itu dilanjutkan dengan menghadirkan kembali mental, karakter, kurikulum, nilai-nilai, semangat, sosok, komunitas dan cita-cita manusia spiritualis, pemimpin berjiwa spiritual dan kepemimpinan berkarakter spiritualisme.
Dengan hadirnya pemimpin dan komunitas epistemik spiritualis, mewujudkan Pancasila dan cita-cita nasional Indonesia akan menjadi lebih mudah. Hal ini karena keduanya akan mampu menghadirkan pemerintahan yang berbasis konstitusi. Pemerintahan berbasis konstitusi adalah pemerintah yang mampu melaksanakan 5 hal utama dalam bernegara, yaitu: rekonstitusi, nasionalisasi, rekapitalisasi, transformasi shadow economic dan pro-pemerataan.
Rekonstitusi adalah kesadaran untuk menuliskan ulang keseluruhan perundangan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara berpemerintahan agar diselenggarakan dalam negara merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Dengan ini, seluruh perundangan yang melawan Pancasila dianggap batal demi hukum. Dus, seluruh arsitektur dan struktur pemerintahan harus mencerminkan kehendak rakyat di mana subtansinya membela yang miskin, lemah, bodoh, cacat dan terpinggirkan. Rekonstitusi juga merubah dokumen resmi untuk memperbaiki dan menyempurnakannya. Perubahan ini dapat berupa penambahan atau penghapusan catatan yang salah dan tidak sesuai lagi. Rekonstitusional merupakan prinsip-prinsip dasar politik serta hukum yang mencakup struktur, prosedur, serta kewenangan atau hak serta kewajiban seluruh warga negara. Karena itu, ide rekonstitusi berhubungan dengan amendemen dan addendum yang bertujuan untuk memperbaiki dokumen penting negara, mencakup bentuk, struktur, prosedur, agar lebih baik dari sebelumnya.
Nasionalisasi adalah kesadaran merebut kembali aset-aset strategis milik negara yang telah menjadi milik asing akibat perilaku menyimpang dari oknum lama. Prosesnya adalah transformasi aset privat atau swasta atau asing menjadi aset publik dan di bawah kepemilikan publik dari pemerintah nasional. Nasionalisasi aset strategis ini meliputi industri-industri strategis seperti transportasi, komunikasi, energi, perbankan dan sumber daya alam. Industri-industri yang dinasionalisasi, berkewajiban untuk beroperasi demi kepentingan publik (warga negara). Karena dimiliki negara, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menanggung segalanya. Keuntungannya harus digunakan untuk membiayai program-program sosial dan riset pemerintah guna membantu menurunkan beban pajak. Nasionalisasi digunakan untuk melindungi dan mengembangkan industri-industri yang dianggap memiliki nilai vital terhadap kekuatan kompetitif negara (seperti industri pesawat terbang, galangan kapal, farmasi, alutista dan pendidikan).
Rekapitalisasi adalah kesadaran memastikan sumber-sumber pendanaan negara menjadi sehat. Ini utamanya harus terjadi di sektor BUMN. Hal ini penting karena selama ini kekayaan negara di BUMN dibuat menjadi: 1. Merugi. 2. Sumber KKN. 3. Praktek mark up. 4. Praktek privatisasi. 5. Beban utang negara. 6. Bancakan elite parpol yg berada di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Saat APBN minus karena sumbernya menyusut (pajak, cukai dan utang) maka program ini menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Potensinya sangat besar dan konstitusional. Inilah program mewargakan ekonomi dan mengekonomikan warga: soko guru keekonomian Indonesia. Inilah yang akan merubah secara riil arsitektur ekopol kolonial menjadi ekopol berdaulat, berkesejahteraan, bermartabat dan berkeadilan.
Transformasi shadow economic merupakan program yang memastikan agar seluruh bisnis haram menjadi halal sehingga menyehatkan APBN negara. Shadow economic adalah kegiatan produksi dan perdagangan barang maupun jasa yang ilegal dan nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif: 1. Menghindari kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan (PPH), pajak pertambahan nilai (PPN). 2. Menghindari kewajiban non-pajak seperti yang diatur dalam regulasi pemerintah. 3. Menghindari pemenuhan standar ketenagakerjaan yang legal, meliputi upah kelayakan minimum, jam kerja yang telah ditetapkan, standar keselamatan, dan lain sebagainya. 4. Menghindari kewajiban administratif dan prosedural, seperti perijinan dan sejenisnya. Praktik-praktik shadow economic antara lain: Memproduksi dan memperjual-belikan produk palsu atau bajakan; Semua bisnis ilegal (tidak berijin); Prostitusi; Narkoba; Perjudian. Skala bisnis itu berada di kisaran 30-40% dari PDB. Dengan mentransformasikannya via UU dan regulasi yang pas, bisnis ini akan menjadi penyumbang besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Pro-pemerataan adalah program yang mengunci empat program di atas agar semua warga negara bangga menjadi Indonesia. Bangga karena negara hadir sebagai ultima berbangsa. Bangga karena negara akan terus melakukan pemerataan melalui: 1. Pemerataan kebutuhan pokok~pangan, sandang dan papan. 2. Pemerataan mendapat pendidikan dan kesehatan. 3. Pemerataan pendapatan. 4. Pemerataan kerja. 5. Pemerataan berusaha. 6. Pemerataan partisipasi dalam pembangunan, khususnya generasi muda dan wanita. 7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh Nusantara. 8. Pemerataan keadilan dan kesejahteraan plus kemartabatan.*
Buku Segera Terbit:
Logika Berpancasila (Penulis Dr. M. Yudhie Haryono)