*JIKA* hari ini tanggal 1 Juni kita memperingati Hari Lahir Pancasila, saya ingin mengajak kita semua untuk mengenang sejenak peristiwa bersejarah itu tujuhpuluh lima tahun lalu.
Sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang kemudian ditambah Indonesia menjadi BPUPKI, yang telah bersidang beberapa hari untuk mencari dasar negara Indonesia merdeka, mengalami jalan buntu. Tidak ada kata sepakat.
Ir. Soekarno yang tampil berbicara tanpa teks pada tanggal 1 Juni untuk menyampaikan konsep dan pemikirannya tentang “Pancasila”, mengawali pidatonya dengan menyerukan “…bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”.
“Kita bersama-sama mencari persatuan _philosophische grondslag_ mencari satu _’weltanschauung’_ yang kita semuanya setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pokoknya kita semua mencari satu _modus”._
Dengan demikian maka dasar keberadaan Pancasila adalah kehendak untuk mencari ‘persetujuan’ (titik temu) dalam menghadirkan kemaslahtan dan kebahagiaan bersama dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Oleh karena itu, jika setiap kali bangsa Indonesia kembali ke 1 Juni, maka setiap kali itu pula kita diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kita kembali diingatkan tentang Pancasila sebagai “titik temu” yang mempersatukan keberagaman bangsa.
Sebagai “titik tumpu” yang mendasari ideologi, norma, dan kebijakan negara, serta sebagai “titik tuju” yang memberi orientasi visi dan misi negara-bangsa Indonesia, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam rangka mengefektifkan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama, ada lima jalur prioritas yang harus kita tempuh.
*Pertama*, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila.
*Kedua,* mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya kewargaan _(civic culture)_ berbasis nilai-nilai Pancasila, serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras dan golongan.
*Ketiga,* mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya praktik ekonomi berkeadilan sosial.
*Keempat,* menguatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam produk perundang-undangan, kebijakan publik serta lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan.
*Kelima,* menumbuhkan, mempromosikan dan mengapresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Dari jalur pemahaman diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur kerukunan (inklusi sosial) mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan mengarah pada Indonesia berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada Indonesia tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia terpuji.
Itulah lima jalur utama menuju persetujuan bangsa dalam kerangka kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama.
Di tengah kondisi bangsa yang sedang diuji oleh letupan konflik akibat benturan kepentingan dan pemahaman, kelima jalur itulah yang menjadi jalan kesaktian Pancasila menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.
Akhirnya saya ucapkan “Selamat Hari Lahir Pancasila. Dengan Pancasila kita bersatu, bahagia dan jaya”. (Pontjo Sutowo, _Ketua Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti)._