Sambil ngeteh di pojok kampus, seorang purnawirawan laksamana bergumam pedih, “Kok bisa diskursus kedaulatan kita hilang? Kok bisa lembaga yang mengurus soal itu absen? Kok bisa tak banyak agensi yang menyadari itu? Mungkinkah karena ini keberhasilan kinerja neoliberal?”
Tidak mudah menjawab keresahan ini. Terlebih disampaikan oleh serdadu. Aku sendiri tidak tahu apa yang beliau lakukan saat aktif berdinas dan punya jabatan sangat strategis. Kenapa pula keresahan itu tumpah saat sudah purnawirawan. Walaupun keresahan itu kini sudah milik publik. Ya, publik dalam duapuluh tahun terakhir terus bertanya-tanya. Repotnya, tak ada jawabnya. Elit kita seperti abai dan menganggap ini isu pinggiran.
Sungguh. Kerinduan akan negara berdaulat mengeringkan air mataku. Kehampaan atas Indonesia berdaulat menghancurkan semangatku. Kepapaan kedaulatan warga negara meluruhkan kuasa cintaku. Atas semua taqdirNya yang tidak tak terpahami. Padahal beribu buku sudah kubaca dan telaah.
Maka, keresahan publik itu ditangkap oleh sejumlah ilmuwan yang aktif di Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB). Bekerjasama dengan banyak pihak, dibuatlah serangkaian pertemuan dan diskusi. Tukar pikiran. Lahirlah buku berjudul, “Menggalang Ketahanan Nasional.” Tentu saja, ini keren karena menjadi rangkuman dari 40 kali pertemuan yang digelar sejak April 2017 hingga Desember 2018. Ada 80 narasumber dengan latarbelakang berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pengalaman berbeda. Diterbitkan oleh Kompas, tahun 2019, Jakarta. Buku berketebalan 270 halaman dan berukuran 15 cm x 23 cm. Lalu, selanjutnya sejarah.
Dus, buku ini hadir sebagai kontribusi untuk melihat ketahanan nasional dari perspektif agak berbeda. Kajian sejarah perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa digunakan secara dinamis sebagai pendekatan baru melihat ketahanan nasional. Tentu agar lebih komprehensif.
Dalam kacamata ini, ketahanan nasional dilihat sebagai daya sintas suatu bangsa, yang berisi keuletan, ketangguhan dan keunggulan yang dapat mengembangkan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), baik dari dalam maupun luar negeri, langsung maupun tidak langsung.
Untuk mengupasnya, dipakailah tiga ranah utama kehidupan sosial budaya. Pertama, mental-spiritual, yang berisi kemauan kolektif bangsa untuk mempertahankan eksistensi dan memajukan peradaban bangsanya.
Kedua, institusional-politikal, yaitu kemampuan tata kelola bangsa dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai cita-citanya dengan partisipasi aktif seluruh warga negara.
Ketiga, material-teknologikal, yaitu kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan produk nilai-tambah tinggi demi kemakmuran bangsa dan kesejahteraan warga negara.
Selain mengupas konsepsi ketahanan nasional, buku ini juga menjadi ajakan membangun kesadaran bersama sebagai warga negara yang harus berkontribusi dalam membangun ketahanan nasional. Mindset ke-Indonesia-an harus senantiasa dibangkitkan, terutama di kalangan generasi muda, guna membentuk diri menjadi warga negara unggul dan patriotik (h.15).
Menjadi warga negara unggul menjadi projek maha penting karena kejeniusan neokolonial itu adalah: memproduksi keputusasaan koloni sehingga abai pada posisi kedaulatan dan kemartabatan. Ini jenis kolonial keenam setelah membakar sejarah bangsa koloni agar rabun sejarah dan hilang cita-cita.
Ingat, negeri kaya ini membawa cacat bawaan lahir: mampu bekerjasama atas pertautan masa lalu tetapi gagal bergotong-royong demi ide masa depan!
Maka, menghancurkan sejarah masa lalu dan menghapus ide-ide masa depan koloni itu menjadi kinerja neokolonial yang terus berlangsung. Tentu sambil menciptakan jejaring agensi begundal.(*)
Penulis Resensi:
Dr. M. Yudhie Haryono