IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Perlu Progressive Global Tax on Capital Untuk Kendalikan The Globalized Patrimonial Capitalism

Rasanya seluruh kejeniusanku tumpul jika mencari solusi dari problem kalian, apalagi problema Indonesia. Ujung pangkalnya di mana? Hulu hilirnya apa? Aku sungguh-sungguh tak tahu sampai kini. Hingga kemalasan dan kepariaan terus memeluk kita.

Fajar sebelum hari raya, setelah tahajud dan jamaah subuh di masjid, kalian masih mengirim puisi. “Yang terparah dalam dunia kita adalah keadaan tidak ada keputusan. Tidak ada kejelasan. Yang anehnya itu berasal dari kita semua. Karenanya, ku selalu berdoa. Sebab doa adalah bahasa rindu dan cinta yang paling cepat sampai ke hati tanpa perlu didengar dan dibaca.”

Aku membacanya sambil bertakbir. Lalu aku sadar, setelahnya kalian hilang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali. Duh gusti kang murbeing jagad. Aku meruntuk dan merapal doa. Setelahnya, kubaca buku, “Capital and Ideology,” karya Thomas Piketty. Cetak tahun 2019 oleh penerbit Universitas Harvard Pers, setebal 1150 halaman.

Menurut Thomas, kapital dan Ideologi memiliki empat bagian utama, yang menggambarkan perkembangan ideologi modern, khususnya yang berpusat di sekitar kepemilikan dan ketidaksetaraan, dan masalah sentral dalam masyarakat Eropa-Amerika, pasca-Soviet, Cina, India, dan masyarakat lainnya saat ini.

Ada kecenderungan siklus ideologi untuk mempertahankan ketidaksetaraan, dan ketidaksetaraan untuk memberi makan ideologi. Ideologi melibatkan “berbagai wacana kontradiktif”, yang menciptakan “narasi dominan.” Narasi ini mengarah pada aturan. Tentu aturan mendukung ketidaksetaraan dan ketidaksetaraan menghasilkan lebih banyak ideologi ketidaksetaraan.

Secara normatif, menurut Thomas, kita harus menciptakan “sosialisme partisipatif” baru, yang melibatkan lebih banyak demokrasi dalam perekonomian, khususnya di tempat kerja, menciptakan sistem pajak yang lebih adil, dan memikirkan kembali aturan tentang perdagangan yang adil serta beradab.

Buku bagus ini memastikan hadirnya kesenjangan di masa kini dan mendatang, sebagai buah demokrasi liberal dengan agensi oligarki. Karenanya, penulis Piketty memberikan usulan untuk memikirkan kembali mengenai konsep the social state dan the progressive income tax (pajak pendapatan progresif).

Marshall Steinbaum (2020) dari Boston Review menulis bahwa buku itu “secara sistematis menghancurkan kesombongan yang mementingkan diri sendiri” ekonomi sebagai kekuatan alami yang tidak terpengaruh oleh gagasan tentang bagaimana seharusnya bekerja.” Ekonomi dari, oleh dan untuk orang kaya.

Coba kita cek data orang kaya. Menurut kemendagri, jumlah penduduk kita 250.200.000 jiwa. Menurut OJK dan LPS (dua institusi perbankan), yang punya rekening dari sebanyak itu hanya 162 juta jiwa. Dari total rekening tersebut, jumlah tabungannya 22.500 Triliyun.

1)Total orang kaya (punya tabungan di atas 2 Triliyun) sebanyak 12 ribu orang; 2)Total kelas menengah (punya tabungan dari 2 Milyar-2 Triliyun) sebanyak 188 ribu orang; 3)Total orang miskin (punya tabungan 0 Ribu-2 Milyar) sebanyak 250 juta orang.

Hanya 200 ribu yang menguasai asset dan perputaran uang di republik ini. Mereka hidup dengan epistema “besok makan siapa.” Sisanya (kaum miskin) bertanya “nanti makan apa?” Tentu saja, demokrasi liberal tidak menemukan solusi ini. Sebaliknya menajamkan arsitektur ketidakadilan. Padahal, tanpa perubahan arsitektur ekonomi, kita semua sedang membangun “rumah siap dibakar” dan menciptakan neraka di dunia (inferno).

Tesis Thomas Piketty menarik walau terlambat, “bila demokrasi pada abad ini dapat memperoleh kembali pengendalian terhadap the globalized financial capitalism, maka dibutuhkan juga the progressive global tax on capital untuk mengendalikan the globalized patrimonial capitalism.”

Yang jadi masalah adalah how the Indonesian works? Tentu harus smart dan konstitusional, yaitu: 1)Tembak mati semua koruptor dan nasionalisasi asetnya ke APBN; 2)Tembak mati semua komprador asing dan sita kekayaannya ke APBN; 3)Tembak mati semua neokolonialis (lokal dan asing) dan rebut kembali harta rampokannya ke APBN; 4)Tembak mati semua elite predatoris, kartelis, oligarkis, kleptokratis dan sita kekayaannya ke APBN; 5)Tembak mati semua birokrat yang fasis, agamawan teroris plus rakyat apatis dan sita semua harta miliknya ke APBN.

Sungguh. Kami di Nusantara Centre telah membahas dan mendokumentasikan isu-isu ini limabelas tahun lalu dan membukukannya menjadi buku berjudul REPUBLIK YANG MENUNGGU. Silahkan dibaca dan dibeli serta dipikirkan solusi-solusinya.(*)

 

Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply