Ultima Indonesia itu Pancasila. Ia yang mengadilkan, memakmurkan, menyentosakan dan memartabatkan. Tetapi, sejarahnya tak sependek sinetron tivi dan umur kekuasaan seorang presiden.
Nilai-nilai ini tumbuh di Jawa purba. Kini, Pancasila tetap bertahan dalam angan-angan, dalam pikiran, dalam sanubari, dalam harapan masa depan. Walau nyatanya Pancasila belum merealitas, belum terlaksana maksimal, belum terbangun sempurna, hingga belum melayani secara gagah bagi semua warganegara.
Karenanya, ultima itu kini diisi potret lucu di Jawa: 1. Orang purba: ngomong budaya lama melulu. 2. Orang putus asa: ngomong tradisi dan kesenian melulu. 3. Orang nganggur: ngomong atheis dan kilafah melulu. 4. Orang waras: ngomong solusi. 5. Orang jenius: ngomong perlawanan terhadap kolonisasi.
Di mana posisi orang-orang Indonesia yang berpancasila? Tidak naik kelas kelihatannya. Baru di arena nomor 1-3. IQnya masih eskatologis. Mimpi, ilusi, pinggiran dan kinerja ecek-ecek saja.
Tata Cara Mengkurikulumkan Pancasila
Di sini, mengisahkan dan mengkurikulumkan kembali Pancasila menjadi penting. Agar peradaban kita seperti cita-cita perumusnya. Bagaimana sejarahnya?
“Karena ini perang semesta maka ideologi kita bukan bagian dari penjajah. Sebaliknya ideologi ini antitesa dari yang ada (kapitalisme dan etatisme) agar kita selalu merdeka,” kata Soekarno suatu kali.
Ide yang melawan, memerdekakan dan membebaskan. Dus, revolusi ini memberikan umat manusia secerah harapan, keyakinan dan kepercayaan akan hadirnya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama dan untuk semua.
Inilah jalan kemanusiaan yang mengarah pada kesederajatan, kemandirian, persaudaraan, kemodernan dan kemartabatifan. Lima cita dalam lima jalan. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuh dan bersemilah sesuatu yang lain, yang sesuai, yang lebih cocok, yang kami namai Pancasila. Satu ideologi bernegara yang khas dan kulminatif dari ide dan gagasan besar di masa lalu, kini dan mendatang di seluruh dunia,” demikian Hatta bicara suatu kali.
Tentu ini satu ideologi hibrida karena menyatukan gagasan dan tindakan dalam berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi dan berkeadilan yang dikerjakan dengan melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan (untuk, oleh dan dari semua warganegara Indonesia).
Inilah leitstar statis dan leitstar dinamis yang akan menancapkan ke semesta peradaban Indonesia. Ia akan menjadi philosophy, weltanschauung, hudan, norma dasar yang integralis karena mengatasi partikularitas paham individualistik (liberalisme), golongan (SARA-tribalisme-fundamentalisme) serta komunalis (komunisme).
Dengan begitu, Pancasila yang kita maksud adalah Declaration of Independence plus keadilan sosial ataupun Manifesto Communist plus Ketuhanan yang Esa.
Pancasila menghibridasi Barat dan Timur bahkan kapitalis dan komunis karena merupakan hogere optrekking (kenaikan kapasitas subtantif) yang memiliki lima kaki: spiritualis, intelektualis, kapitalis, sosialis, humanitas.
Di dalamnya ada hasrat keyakinan, kepengetahuan dan kebertindakan secara serempak. Pikir, kerja, reflektif dan proyektif, iman, ilmu dan amal.
Hibridasi ini terkait pada sosio-religius, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ia berpijak pada tiga poros: theo-antro-eco centris (periketuhanan, perikemanusiaan dan perilingkungan yang resiprokal kritis). Dus, ia tidak khas dan genuin dari Indonesia pada awalnya melainkan hasil persemaian yang panjang sebagai taman saripatinya dunia. Sebagai taman dunia, apakah yang tak ada di Indonesia? Sebab segala sesuatu yang ada di dunia dapat ditemukan di sini.
Ideologi Bertujuan Menawarkan Perubahan Melalui Proses Pemikiran Normatif
Kita tahu, ideologi adalah ide atau gagasan waras nalar cerdas. Kata ini diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide.” Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara pandang subtantif (weltanschauung) atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas dominan pada seluruh masyarakatnya.
Tujuan utamanya adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi merupakan sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah publik sehingga menjadi inti politik-publik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
Sedang hibrida adalah hasil persilangan (hibridisasi atau pembastaran) antara banyak sesuatu dengan genotipe awal yang berbeda. Hibrida, bastaran dan blasteran dengan demikian adalah pertemuan banyak peradaban yang menghasilkan satu barang/ilmu/sifat/sikap/spesies baru dengan ciri-ciri yang sama sekali baru. Mirip sambal. Ia awalnya kumpulan sesuatu yang membentuk barang baru setelah diblendid atau diulek.
Jika menilik isi subtansi Pancasila maka kini kita paham bahwa ia produk hibridasi (adonan) dari berbagai pikiran besar yang dikerjakan oleh nalar besar, cerdas dan dahsyat. Dari cara kerja ini mestinya melahirkan “mental, nalar dan konstitusi” dahsyat: peradaban atlantik yang gigantik. Indonesia yang Raya. Jika belum, ada baiknya kita berefleksi kembali untuk menentukkan proyeksi yang benar dan pener. Inilah tugas semesta kita.
Sebab krisis yang kita hadapi tak cukup diobati pakai obat penahan rasa sakit atau minyak angin yang tambal sulam. Wajib menghadirkan Revolusi Pancasila sebagai diagnosa komprehensif sekaligus operasi besar demi sehatnya bangsa dan negara. Pahit dan perih dirasa tapi menyembuhkan. Kaliankah orang-orang itu? Yang mewakafkan diri demi nilai-nilai idealistik.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono
Sumber gambar: https://mudanews.com/lifestyle/2020/07/27/membumikan-pancasia-mana-buminya/attachment/ilustrasi-bumi-pancasila/