Peradaban Djawa itu dicetak oleh tiga hal: keberlimpahan alam raya, keramah-tamahan penghuninya, filsafat kebutuhan bukan keinginan. Tetapi, akibat bencana, paregreg dan penjajahan, semua tinggal sisa.
Kini, sungai hilang kedalamannya; pasar hilang suaranya; pandita hilang malunya; mantera hilang saktinya. Begitulah ujaran Jawa yang sangat berharga.
Maka, mendialogkan Jawa adalah mendialogkan hilangnya. Mewarisi cerita dan epos besar yang tinggal tulang belulang tak bernyawa. Djawa. Ini adalah tanah tua. Merujuk pada namanya: dawa yang bermakna panjang.
Dipimpin pertama kali oleh raja Saka (soko) yang bermakna penyangga utama. Tentu ini peradaban sempurna karena mampu menciptakan tanggalan sendiri, angka sendiri, aksara sendiri, agama sendiri, tata nilai sendiri dan kepribadian sendiri.
Raja Saka adalah maharaja yang cerdas dan jenius. Sebab, raja inilah yang menciptakan penanggalan, huruf, aksara, filsafat dan adat-istiadat Jawa. Hurufnya penuh makna dan lambang bahkan metafora. Hana caraka (ada dua utusan), data sawala (mereka saling berselisih), padha jayanya (mereka sama-sama berjaya–dalam perkelahian), maga bathanga (mereka sama-sama jadi mayat).
Dari semua pitutur agung yang ada, terdapat salah satu warisan pitutur agungnya yang sampai hingga saat ini. Warisan pitutur agung tersebut adalah sebagai berikut. Lamun siro sekti, ojo mateni. Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Lamun siro pinter, ojo minteri.
Di masa purba (atlantis), pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil homo erectus, yang populer dijuluki “Si Manusia Jawa” ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo. Peninggalan tersebut berasal dari masa 6 ribu tahun yang lampau.
Umur pulau Jawa diperkirakan 2 juta tahun. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu dan piramida berundak.
Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu dan sarkofagus.
Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman Nusantara setelah penduduk lokal melakukan hibridasi peradaban. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M, kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan-kerajaan setelahnya.
10 Filsafat Jawa
Dari banyak suku bangsa di dunia, Jawa dapat dikatakan sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki filsafat yang sangat maju. Bahkan dalam budayanya, banyak memiliki pepatah dan petuah yang memberikan kearifan dalam upaya kita bisa mencapai “paran dumadi“ demi ”manunggaling kawulo Gusti“.
Kesepuluh filsafat Jawa tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. “Urip iku Urup.” Hidup itu seharusnya menyala, menerangi, yang berarti hidup itu hendaknya memberi manfaat kepada orang lain di sekitar kita.
Kedua. “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro.” Hidup harus mengusahakan keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, iri hati, dan kikir serta aniaya.
Ketiga. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan“. Hidup jangan mudah tertekan terkena tekanan batin (distressed) manakala musibah menimpa, jangan sedih manakala kehilangan.
Keempat. “Ojo ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman“. Hidup jangan terpaku atau terkungkung dengan kedudukan, kekayaan materi dan kepuasan duniawi.
Kelima. “Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka“. Hidup jangan merasa paling pandai agar tidak salah paran, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
Keenam. “Ojo milik barang kang melok, ojo mangro mundak kendho“. Hidup janga tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah, dan jangan berfikir gamang atau plin-plan agar tidak kendor niat dan semangat kerja.
Ketujuh. “Alang-alang dudu aling-aling marganing kautaman“. Persoalan kehidupan bukan penghambat jalan menuju kesempurnaan.
Kedelapan. “Sopo weruh ing panuju sasat sugih pager wesi“. Dalam kehidupan, siapa punya cita-cita luhur jalannya seakan tertuntun.
Kesembilan. “Ngeli namung ora keli“. Hidup itu harus menyesuaikan diri dengan jaman, namun tidak hanyut oleh arus kemajuan jaman semata. Ini erat kaitannya dengan pepatah “jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Namung sing paling becik tetep wong waras.” Budaya Jawa mengajarkan kita agar tetap mempunyai pola pemikiran “kang eneng, ening, awas, lan eling.”
Kesepuluh. “Becik ketithik, ala ketoro“. Pada kehidupan, kebaikan akan pasti tercatat sedangkan keburukan pasti akan terbuka. Ini membimbing agar kita selalu berbuat baik dan menjauhi yang bersifat aniaya.
Hebat Bukan Filsafatnya? Theoantroeco centris jika disimpulkan. Keselarasan tuhan-manusia-alam raya yang seimbang.
Singkatnya, Jawa sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi dan semua buah-buahan. Pulau ini terkaya SDA, terpadat, terindah, tereksotis dan sangat mempesona. Jutaan manusia (jahat dan baik) datang untuk menjajah dan pariwisata. Di Jawa ini pula ditemukan Pancasila: puncak hibridasi nilai-nilai dunia yang kini dikhianati para pemimpinnya.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono
Sumber foto: https://duniarentaljogja.com/berburu-indahnya-sunrise-di-candi-borobudur/